Selasa, 25 Oktober 2011

KONSUMEN CERDAS

KONSUMEN CERDAS, KONSUMEN PEDULI LINGKUNGAN
Anda suka mengkonsumsi makanan ringan seperti; snack, permen dan minuman kemasan kotak atau kaleng? Nah kebiasaan itu ternyata menyumbang jumlah sampah di sekitar kita.
Sampah-sampah itu masuk kategori sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga itu pula yang jumlahnya paling besar, yakni mencapai 6.500 ton dalam setahun. Jumlah itu belum ditambah dengan limbah atau sampah barang elektronik. Kebayakan limbah tersebut belum bisa diolah. Nah kalau kondisinya seperti itu terus dan tak ada peran serta konsumen dalam menjaga lingkungan bisa dibayangkan Indonesia bisa jadi negara yang dipenuhi sampah.
Masyarakat punya tanggung jawab sosial dalam hal ini. Utamanya untuk membantu melestarikan dan menjaga lingkungan. Kepala Subdirektorat Pembimbing Konsumen dan Pelaku Usaha Direktorat Pemberdayaan Konsumen Kementerian Perdagangan Arifin Ghafi mengatakan konsumen harus cerdas membeli produk barang/jasa. Jangan asal beli. “Pilih produk yang ramah lingkungan,” ujar Arifin Ghafi. Ini penting supaya lingkungan tak makin rusak karena produk yang dibeli konsumen.
Konsumen adalah penggguna terakhir dari suatu produk. Maka ada hal pokok yang perlu diketahui konsumen untuk bisa memahami produk ramah lingkungan. Menurut Kepala Bidang Peningkatan Peran Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan Kementerian Lingkungan Hidup Agus Sukanda mengatakan ada 4 hal yang mesti dipahami konsumen. “Ini penting diketahui,” kata Agus Sukanda. Empat Hal itu adalah konsumen harus memahami apa itu limbah hasil kegiatan usaha, apa itu bahan beracun dan berbahaya B3. B3 adalah suatu zat yang karena sifat, jumlah dan konsentrasinya memiliki potensi mencemari dan merusak lingkungan. Ketiga adalah sampah. Sampah adalah sisa kegiatan rumah tangga. Ke empat adalah bagaimana konsumen memahami produk yang dihasilkan dari berbagai macam industri dengan bahan yang digunakan. Mulai dari sumber daya air, minyak, gas dan hutan. “Konsumen perlu paham tanggung jawabnya,” tutur Agus Sukanda.
Untuk meningkatkan tanggung jawab konsumen terhadap lingkungan, Kementerian Perdagangan punya klinik konsumen terpadu. Klinik ini bekerjasama dengan BPOM, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan lain sebagainya. Klinik ini klinik berjalan. Kegiatannya adalah menyosialisasikan pentingnya konsumen turut menjaga lingkungan. Tujuan akhirnya adalah menjadikan konsumen lebih cerdas. “Kita datang ke sekolah-sekolah SMP, SMA, keliling seminggu sekali pakai mobil berwarna hijau, “terang Arifin Ghafi. Sosialisasi berisi cerita-cerita menarik lewat audio dan visual tentang peran serta konsumen terhadap lingkungan. Termasuk kebijakan dan aturan di dalamnya.
Konsumen dan produsen penghasil barang/jasa sampai saat ini banyak yang belum sadar tentang produk-produk yang mereka pakai atau hasilnya ternyata turut menghasilkan limbah atau sampah. “Kita harus terus tingkatkan kesadaran mereka,” tegas Agus Sukanda. Perlu peran serta semua pihak untuk bisa mewujudkan itu semua. Masyarakat sebagai konsumen, produsen dan pemerintah. “Kelembagaan dan organisasi sosial,” tambah Agus Sukanda.
Jadilah Konsumen Cerdas
Ada beberapa tips bagi konsumen sebelum membeli produk/barang jasa. Utamanya untuk membantu menjaga dan melestarikan lingkungan. Pertama adalah teliti sebelum membeli. Masyarakat harus membiasakan diri teliti memilih produk di pasaran. Pengamatan minimal secara kasat mata.  “Kondisi kemasan baik atau sudah rusak,” ujar Kepala Subdirektorat Pembimbing Konsumen dan Pelaku Usaha Direktorat Pemberdayaan Konsumen Kemendag Arifin Ghafi. Perhatikan pula label dan masa kadaluarsa. Berlogo SNI pada produk yang dibeli juga jadi syarat penting. “Logo membantu konsumen terhindar dari produk recondisi,” terang Arifin Ghafi. Utamakan penggunaan produk dalam negeri ketimbang import. Yang juga tidak boleh ketinggalan adalah belilah produk atau jasa sesuai kebutuhan bukan keinginan. “Kalau keinginan nanti jadinya sampah makin banyak, menumpuk,” tegas Arifin Ghafi. Produsen atau pelaku usaha juga harus berkomitmen menampilkan logo-logo pada kemasan produknya. “Logo ramah lingkungan, bisa didaur ulang atau tidak, spesifikasinya harus jelas,” tukas Kepala Bidang Peningkatan Peran Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan Kementerian Lingkungan Hidup Agus Sukanda. Sampah yang dihasilkan industri elektronik akan buat aturannya lewat Peraturan Menteri. ”Lagi dibentuk, sampah elektronik belum ada pengolahannya,” tutup Arifin Ghafi.
JADI KONSUMEN CERDAS DAN TERINFORMASI
Nasehat untuk jadi konsumen cerdas sering kita jumpai dalam iklan masyarakat di berbagai media. Kebanyakan dari iklan tersebut mengajak kita semua untuk senantiasa kritis atas barang yang hendak dikonsumsi. Mulai dari tanggal kadaluwarsa, ada/tidaknya zat berbahaya, garansi, label halal, ada/tidaknya kecacatan barang, dan komposisi dari produk tersebut. Saran tersebut kebanyakan untuk produk olahan atau barang produksi massal.
Ada beberapa hal yang sesungguhnya perlu diketahui oleh konsumen agar bisa lebih cerdas dalam mengonsumsi suatu barang. Hal ini sering luput dari perhatian kita, yaitu proses pembuatannya. Tentu saja, proses ini menyangkut secara kesuluruhan, dari hulu hingga hilir. Kita perlu tahu semuanya, mulai dari asal-muasalnya hingga kondisi pekerja di tempat produksinya.
Proses produksi suatu barang perlu jadi perhatian penting agar terhindar dari “kebohongan” produsen atas produknya. Film Blood Diamond (2006) yang bercerita tentang perang saudara di Sierra Leone dapat jadi contoh pentingnya kita tahu asal-muasal suatu barang. Film yang dibintangi Leonardo Di Caprio dan Jennifer Connelly ini berkisah tentang berlian yang jadi sumber konflik di Sierra Leone. Ribuan nyawa jadi korban dan sekitar 250 ribu anak yang terpaksa harus jadi tentara untuk kepentingan konflik perebutan berlian di negara tersebut.
Konsumen harus cermat dalam hal ini. Konsumen perlu juga tahu dari mana asal-muasal suatu produk yang diduga jadi sumber konflik, misal: berlian, seperti yang terjadi di Sierra Leone. Dalam konteks berlian seperti dalam cerita film tersebut, sebagai konsumen, kita harus bersikeras untuk membeli berlian yang berasal dari daerah konflik. Ironis bila kita membeli berlian untuk hari terindah dalam hidup, tapi berasal dari daerah konflik.
“Teknisnya, mereka (pembeli – pen. )tak membiaya perang, tapi menciptakan situasi yang pantas untuk diteruskan,” ujar tokoh yang diperankan Di Caprio dalam sebuah perbincangan dengan temannya.
Apa yang terjadi di Sierra Leone pada dekade 1990-an dapat jadi contoh agar konsumen lebih cerdas lagi dalam mengonsumsi suatu produk. Kita semua tentu saja tak ingin jadi bagian dari konflik tersebut pernyataan tokoh yang diperankan Di Caprio tersebut. Bukan sekedar menikmati keindahan berlian tanpa informasi cukup tentang bagaiamana proses pembuatannya sejak hulu.
Tak hanya soal asal-muasal suatu produk. Sebagai konsumen cerdas kita juga perlu tahu proses produksi suatu barang., terutama kondisi pekerja yang bekerja keras membuat suatu barang. Sebelum membeli suatu barang, cukup penting bagi kita untuk bertanya kepada penjual tentang informasi terkait produknya. Dalam hal ini, kita perlu menanyakan kondisi pekerja. Apakah mereka mendapatkan haknya secara layak atau tidak.
Film dokumenter The New Rulers of The New World (2002) yang diproduseri John Pilger dapat jadi acuan untuk ini. Film tersebut menggambarkan eksploitasi terhadap buruh dengan semena-mena. Bayangkan saja, mereka dipaksa untuk bekerja dalam waktu sangat panjang tanpa diberi hak yang semestinya diperolehnya. “Ada yang kemarin cutting sampai finishing itu dari jam delapan (pagi) sampai jam 12 malam dengan alasan ini harus diekspor. Kondisi mereka harus berdiri dari jam 8 (pagi)sampai 12 malam itu, tak boleh duduk,” ujar seorang buruh yang memberi pengakuan.
Untuk turut menciptakan keadaan yang lebih baik, konsumen hendaknya bertanya kepada penjual. Menjadi konsumen yang terinformasi merupakan salah satu jalan agar kita tak “terlibat” dalam proses eksploitasi terhadap pekerja di suatu perusahaan. Cara paling sederhana, kita bisa menanyakan beberapa hal, misal: lokasi pabrik dan bagaimana kondisi pekerjanya. “Tulislah surat ke perusahaan dan katakan jika Anda ingin kepastian bahwa produk berasal dari pabrik yang memperlakukan buruhnya dengan adil,” kata Barry Coates dari Gerakan Pembangunan Dunia dalam film dokumenter tersebut.
Dengan jadi konsumen cerdas yang terinformasi, kita bisa terhindar dari upaya penerusan keadaan yang seharusnya tak terjadi. Konsep Pierre Bordieu, sosiolog Perancis, tentang kekerasan simbolik perlu jadi perenungan kita semua. Kekerasan seperti ini pada dasarnya tak bisa dirasakan sebagai bentuk kekerasan sehingga dapat jadi justifikasi untuk tetap meneruskannya (1991). Di sinilah letak kekerasan simbolik terjadi sebagai konsumen. Kita lupa atas apa yang terjadi dibalik suatu produk. Kekerasan yang mungkin terjadi dibalik produk ketika diproses tak bisa kita rasakan sebagai suatu kekerasan. Malah kita semakin bangga ketika mengonsumsinya. Sangat penting bagi kita semua untuk jadi konsumen cerdas dan terinformasi.

Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar