MONOPOLI DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
1.Monopoli
Monopoli adalah suatu sistem dalam pasar di man hanya ada satu atau
segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang
tidak punya pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau
pengusaha lain untuk masuk dalam bidang industri atau bisnis tersebut
.Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan,
sementara pihak lain sulit masuk di dalamnya. Karena itu hampir tidak
ada persaingan berarti.
Secara lebih tegas perlu kita bedakan antara dua macam monopoli.
Pertama adalah monopoli alamiah dan yang kedua adalah monopoli
artificial. Monopoli alamiah lahir karena mekanisme murni dalam pasar.
Monopoli ini lahir secara wajar dan alamiah karena kondisi objektif yang
dimiliki oleh suatu perusahaan, yang menyebabkan perusahaan ini unggul
dalam pasar tanpa bisa ditangani dan dikalahkan secara memadai oleh
perusahaan lain. Dalam jenis monopoli ini, sesungguhnya pasar bersifat
terbuka. Karena itu, perusahaan lain sesungguhnya bebas masuk dalam
jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan lain tidak mampu
menandingi perusahaan monopolistis tadi sehingga perusahaan yang unggul
tadi relatif menguasai pasar dalam jenis industri tersebut.
Memang ada produk pengganti atau alternatif, tapi sering kali produk
pengganti ini sulit menyamai dan menyaingi produk unggulan yang
memonopoli pasar tadi karena kekhasan produk unggulan tersebut yang
sudah disenangi konsumen. Jadi, monopoli perusahaan tersebut memang
didasarkan pada keunggulannya dalam pasar. Sementara itu pasar sendiri
tetap terbuka untuk dimasuki oleh pesaing-pesaing lain.
Di sini terlihat jelas bahwa kendati secara historis pasar bebas
lahir untuk menghapus monopoli yang dikenal dalam sistem ekonomi
merkantilistis, pasar sendiri dapat melahirkan jenis monopoli tertentu
berupa monopoli alamiah. Hanya saja, tidak ada persoalan moral yang
serius dengan jenis monopoli ini, karena monopoli itu dinikmati karena
kondisi objektif. Jadi, monopoli ini lahir secara fair, yaitu
karena keunggulan teknologi, keunggulan manajemen, keunggulan komposisi
ramuan produk tertentu yang digemari konsumen tanpa bisa ditiru
perusahaan lain, dan semacamnya. Monopoli ini lahir tanpa direkayasa dan
tanpa dukungan politik apa pun, melainkan karena keunggulan, keuletan,
kejelian, membaca selera konsumen, dan seterusnya. Maka, tidak ada yang
Yang menjadi masalah adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli
artificial. Monopoli ini lahir karena persekongkolan atau kolusi
politis dan ekonomi antara pengusaha dan pengusaha demi melindungi
kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir
karena pertimbangan rasional misalnya demi melindungi industri dalam
negeri, demi memenuhi economic of scale, dan seterusnya.
Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi sifatnya dan bisa dari
yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai pada yang kasar
dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa sadar yang
pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan
merugikan kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas
masyarakat.
akan mempersoalkan dan menentang jenis monopoli semacam ini.
Termasuk dalam jenis monopoli ini adalah apa yang Milton Friedman
sebagai monopoli karena pertimbangan-pertimbangan teknis. Yang
dimaksudkan adalah bahwa berdasarkan pertimbangan teknis tertentu, jauh
lebih efisien dan ekonomis kalau industri tertentu hanya dikuasai oleh
satu perusahaan saja dan bukunya banyak. Contoh yang paling jelas adalah
industri telepon, air, dan listrik. Umumnya, perusahaan yang memonopoli
industri semacam ini adalah perusahaan pemerintah demi efisiensi dan
demi kepentingan bersama. Jadi, jenis monopoli ini pun tidak banyak
menimbulkan persoalan etis.
Yang menjadi masalah adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli
artificial. Monopoli ini lahir karena persekongkolan atau kolusi
politis dan ekonomi antara pengusaha dan pengusaha demi melindungi
kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir
karena pertimbangan rasional misalnya demi melindungi industri dalam
negeri, demi memenuhi economic of scale, dan seterusnya.
Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi sifatnya dan bisa dari
yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai pada yang kasar
dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa sadar yang
pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan
merugikan kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas
masyarakat.
Monopoli artificial yang didasarkan pada pertimbangan yang rasional
tertentu sesungguhnya tidak menjadi soal kalau kebijaksanaan yang
menopolistis itu tetap mengindahkan prosedur yang fair dan
adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara
politis melainkan juga secara moral. Yang jadi soal adalah, kalaupun ada
pertimbangan yang rasional dan objektif, tidak ad prosedur yang fair, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan yang memungkinkan terbukanya peluang yang sama dan fair bagi
kompetisi sebelum memenangkan monopoli artificial itu. Monopoli
artificial umumnya bersifat sepihak, sewenang-wenang, dan karena itu
dianggap curang. Kalaupun monopoli itu didasarkan pada alasan rasional,
misalnya demi perlindungan industri dalam negeri atau demi meningkatkan
daya saing ekonomi kita, prosedurnya tidak pernah transparan disertai
kriteria objektif bagi perusahaan yang pantas untuk mendapat monopoli
itu. Maka, timbul pertanyaan yang sangat masuk akal: mengapa perusahaan x
yang ditunjuk atau yang mendapat proyek itu dan bukan perusahaan lain.
Apa alasan dan pertimbangan rasional penunjukan itu? Apakah proyek itu
juga terbuka bagi semua perusahaan lain? Kalau begitu, apa kriteria
objektif yang telah menyebabkan perusahaan x yang dipilih? Monopoli atas
proyek tersebut-misalnya dengan alasan rasional demi melindungi
industri dalam negeri-tentu tidak dipersoalkan .Yang menjadi soal adalah
penunjukan sepihak dan tertutup itu.
Yang paling buruk adalah monopoli artificial tanpa ada pertimbangan
rasional dan objektif. Sumber paling pokok dari monopoli ini adalah
bantuan dari pemerintah entah secara langsung atau tidak langsung, demi
melindungi kepentingan bisnis kelompok lain, atau mengorbankan
kepentingan bersama, atau pula dengan mengorbankan rasa keadilan dalam
masyarakat. Jadi, pemerintah memberi dukungan, bahkan perlindungan
politik secara istimewa, melalui aturan atau kebijaksanaan politik
ekonomi tertentu, yang pada akhirnya akan menghambat perusahaan dan
kelompok usaha lain untuk masuk dalam jenis industri yang sama,demi
kepentingan perusahaan monopolistis tertentu.
Berbeda dengan monopoli alamiah, monopoli antifisial menimbulkan
beberapa masalah etis yang pelik. Pertama, masalah keadilan. Salah satu
aspek keadilan yang dilanggar oleh praktek monopoli artificial adalah
dilanggarnya prinsip perlakuan yang sama bagi semua pengusaha atau
kelompok bisnis. Dengan praktek monopoli ada kelompok yang diperlakukan
secara istimewa, bahkan tanpa alasan yang rasional, sementara yang lain
disingkirkan secara menyakitkan dan secara tidak fair. Mereka
terpaksa dan dipaksa mengalah demi kepentingan kelompok tertentu dengan
kedok kepentingan nasional. Maka, jelas ada kelompok pengusaha yang
dirugikan.
Dalam kaitan dengan ini yang juga menyakitkan dan menimbulkan
persoalan etis adalah bahwa negara yang seharusnya bersikap netral tak
berpihak, dengan praktek monopoli itu telah bertindak secara sepihak.
Ini sungguh menyakitkan karena negara telah memainkan dan mempraktekkan
politik diskriminasi dalam bidang ekonomi.
Praktek monopoli artificial, termasuk yang rasional sekalipun, juga tidak adil karena tidak ada prosedur yang fair dan jelas. Dengan kata lain, monopoli juga melanggar aspek keadilan lainnya berupa keadilan prosedural (procedural justice),
yaitu tuntutan agar pihak yang dipilih adalah pihak yang paling
memenuhi semua ketentuan dan prosedur yang ada dan lolos dari prosedur
yang benar-benar objektif.
Yang juga mengalami perlakuan tidak adil adalah konsumen atau
masyarakat pada umumnya. Masyarakat dirugikan baik karena dipaksa dan
terpaksa membeli produk dari perusahaan monopolistis maupun karena
direnggut kebebasannya untuk memilih diantara berbagai alternatif barang
kebutuhannya, yang akan terbuka baginya kalau pasar dibiarkan terbuka.
Dengan monopoli tidak ada lagi kemungkinan lain bagi konsumen untuk
memilih secara bebas. Bahkan konsumen merasa didikte oleh produsen yang
bertindak sewenang-wenang karena merasa dilindungi secara politis.
Apalagi, dengan monopoli harga produk tersebut menjadi jauh lebih mahal
daripada harga pasar yang sebenarnya.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artificial
adalah ketimpangan ekonomi atau apa yang disebut sebagai ketidakadilan
distributive. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa monopoli menimbulkan
ketimpangan atau distribusi ekonomi yang tidak merata antara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan monopoli artificial,
kelompok tertentu mengakumulasi keuntungan dan kekayaan secara melimpah
ruah, gampang, dan melalui car yang curang sementara kelompok yang lain
terpinggirkan kalau bukan semakin miskin. Kelompok yang mendapat
monopoli memperoleh kesempatan bisnis dan perlindungan politik untuk
menjadi semakin kaya sementara yang lain dibiarkan berjuang sendiri
kalau bukan bangkrut. Memang monopoli alamiah pun dalam arti tertentu
dapat dapat menyebabkan ketimpangan ekonomi karena perusahaan
monopolistis akan menjadi lebih unggul dan kaya sementara yang lainnya
tidak. Namun, persoalannya bahwa tidak ada yang salah dengan keuntungan
atau kekayaan yang diperoleh melalui cara yang halal dan fair,
yaitu melalui keunggulan objektif perusahaan tersebut. Tidak ada yang
salah kalau perusahaan yang unggul dalam manajemen, dalam mutu, dalam
pemenuhan selera, dan seterusnya meraup untung besar karena dalam pasar
lebih disukai konsumen. Baru itu menjadi soal kalau kekayaan itu
diperoleh secara tidak halal dan tidak fair melalui monopoli dengan bantuan perlindungan pemerintah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan disini dalam kaitan dengan
ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh praktek monopoli. Pertama,
perusahaan monopolistis diberi wewenang secara tidak fair untuk
menguras kekayaan bersama demi kepentingan sendiri dalam selubung
kepentingan bersama. Secara moral dapat dipertanyakan: atas dasar apa
perusahaan tertentu mendapat hak pengelolaan kekayaan alam hutan,
tambang, dan seterusnya, demi memperkaya dirinya sementara rakyat di
sekitar tempat itu hampir tidak pernah mendapat manfaat langsung dari
proyek itu, dan berarti tetap miskin. Kedua, rakyat atau konsumen yang
sudah miskin dipaksa untuk membayar harga produk monopolistis yang jauh
lebih mahal. Dengan demikian daya beli masyarakat dikuras demi kekayaan
kelompok yang mendapatkan monopoli tadi. Padahal, kalau tanpa monopoli,
dengan daya beli mereka yang ada, rakyat bisa memenuhi lebih banyak
kebutuhan hidupnya. Ketiga, ketimpangan ekonomi akibat praktek monopoli
juga berkaitan dengan tidak samanya peluang yang terbuka bagi semua
pelaku ekonomi oleh adanya praktek monopoli itu. Ketimpangan ekonomi
yang terjadi karena terbukanya peluang yang sama masih lebih baik
daripada ketimpangan yang disebabkan karena peluang dan perlakuan yang
tidak sama. Dengan monopoli ad yang dilindungi, dipercaya, dan
diperbesar kekuatan ekonominya, sementara lebih banyak lagi pihak
lainnya dibiarkan berjuang sendiri. Ini jelas tidak adil.
Masalah ketiga yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artificial
adalah terlanggarnya kebebasan baik pada konsumen maupun pad pengusaha.
Seperti telah dikatakan, konsumen tidak punya pilihan lain selain produk
dari perusahaan monopolis. Demikian pula, konsumen tidak bisa secara
bebas memilih barang atau jasa yang sesuai dengan kemampuan ekonominya
karena hanya ada satu produk dengan harga yang telah dipatok tersebut.
Sementara itu, pengusaha lain jelas tidak bisa menikmati kebebasan
berusaha karena hambatan yang secara sengaja diciptakan untuk melindungi
perusahaan monopolistis. Ini benar-benar tidak etis dan merusak
mekanisme pasar yang fair.
2.Oligopoli
Oligopoli adalah salah satu bentuk monopoli tetapi agak berbeda
sifatnya. Kalau monopoli merupakan kolusi antara pengusaha dan penguasa,
maka oligopoli sesungguhnya adalah kolusi antara pengusaha dan
penguasa. Oligopoli agak berbeda sifatnya dengan monopoli karena
oligopoli terletak diantara pasar yang bebas dan terbuka di satu pihak
dan monopoli di pihak yang lain. Dalam praktek oligopoli pasar dikuasai
oleh segelintir pengusaha-semakin sedikit semakin baik-bukan karena ada
kolusi dengan pemerintah, melainkan karena kolusi diantar segelintir
pengusaha tersebut untuk menguasai dan mendikte pasar. Milton Friedman
menyebut praktek seperti ini sebagai monopoli dengan sumber utamanya
pada kolusi perusahaan swasta.
Inti dari oligopoli adalah bahwa beberapa perusahaan sepakat baik
secara tersirat maupun tersurat untuk menetapkan harga produk dari
industri sejenis pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari harga
berdasarkan mekanisme murni dalam pasar. Dalam hal ini setiap perusahaan
sejenis sangat peka terhadap harga dan strategi pasar yang diambil oleh
masing-masing perusahaan. Dengan demikian, baik secara tersirat
(diam-diam) maupun secara tersurat (melalui perjanjian) mereka kan
menyesuaikan harga dan strategi pasar sesuai dengan langkah yang
ditempuh perusahaan lain.
Kalau dalam praktek monopoli artificial perusahaan tertentu melakukan
kolusi dengan penguasa demi mengalahkan, atau lebih tepat
menyingkirkan, perusahaan lain, maka dalam praktek oligopoli yang
terjadi adalah persekongkolan antara beberapa perusahaan sejenis dengan
tujuan utama untuk mengalahkan dan mendikte konsumen. Artinya, dari pada
didikte oleh pasar (konsumen), perusahaan-perusahaan tertentu
bersekongkol untuk mendikte pasar, dan dengan demikian mendikte konsumen
melalui kebijaksanaan harga yang lebih tinggi atau ketat. Memang efek
sampingannya adalah bahwa perusahaan yang lain akan sulit masuk dalam
industri sejenis tersebut, tetapi sesungguhnya yang ingin “diperangi”
adalah konsumen.
Selain praktek oligopoli secara merger, yaitu penggabungan beberapa
perusahaan yang sebelumnya bersaing satu sama lain menjadi satu
perusahaan raksasa, juga dikenal dua bentuk praktek oligopoly lainnya
sebagai berikut. Bentuk pertama adalah kartel atau juga dikenal sebagai
persetujuan tersurat. Dalam praktek ini manajer dari beberapa perusahaan
sejenis bertemu dan mengadakan persetujuan secara tersurat untuk
membatasi persaingan di antara mereka dengan menetapkan harga jual
produk mereka jauh di atas harga normal dalam pasar. Tujuan akhirnya
adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi
perusahaan-perusahaan yang terlibat.
Ada banyak praktek oligopoli jenis ini. Dua yang paling umum dikenal adalah price-fixing dan manipulasi penawaran. Dalam praktek price-fixing,
perusahaan-perusahaan oligopolies sepakat untuk menetapkan harga lebih
tinggi dan memaksa konsumen untuk menerima harga tersebut. Dalam praktek
manipulasi penawaran, perusahaan-perusahaan oligopolistis sepakat untuk
menangguhkan produksi untuk kurun waktu tertentu atau untuk
menghentikan penawaran dalam kurun waktu tertentu sehingga terjadi
kelangkaan dalam pasar. Akibatnya, akan melonjak permintaan yang dengan
sendirinya akan diikuti oleh naiknya harga produk dari
perusahaan-perusahaan oligopolistis tadi. Dengan praktek manipulasi
penawaran, timbul kesan seakan-akan pasarlah yang menyebabkan harga
naik. Jadi, kenaikan harga adalah akibat dari manipulasi
perusahaan-perusahaan tersebut.
Bentuk lain dari praktek oligopoli adalah price leadership
atau juga dikenal sebagai persetujuan diam-diam. Yang terjadi adalah
bahwa sudah ada semacam kesepakatan diam-diam di antara
perusahaan-perusahaan sejenis untuk menaikkan atau sebaliknya menurunkan
harga produk mereka mengikuti langkah yang diambil oleh salah satu dari
perusahaan sejenis. Pihak yang berinisiatif untuk menaikkan atau
menurunkan harga tersebut lalu dikenal sebagai price leader-biasanya
perusahaan yang paling menonjol. Asumsi dibalik praktek ini adalah dari
pada bersaing satu sama lain melalui tingkat harga produk sejenis yang
beragam, lebih baik “bersekongkol” dengan menjual produknya pada tingkat
harga yang sama. Kalau mereka bersaing satu sama lain, yang rugi adalah
produsen-produsen itu sendiri, sebaliknya yang untung adalah konsumen.
Maka, dari pada sling bersaing dan merugikan produsen sendiri, lebih
baik bersekongkol dengan satu tingkat harga, yang akan lebih
menguntungkan produsen dan merugikan konsumen.
Dengan melihat praktek oligopoli diatas, terlihat jelas bahwa
persoalan etis yang muncul dari praktek oligopoli tidak jauh berbeda
dari persoalan yang muncul dalam praktek monopoli. Hanya saja, yang
paling yang paling dirugikan dengan praktek oligopoli adalah pihak
konsumen. Konsumen diperlakukan secara tidak adil karena dirugikan dan
banyak hal tidak bebas menentukan pilihannya baik dalam hal jenis barang
maupun harga yang kompetitif. Yang juga menakutkan adalah bahwa praktek
oligopoly tidak hanya merusak mekanisme pasar dan juga kepentingan
masyarakat, melainkan juga menumpuk kekuatan ekonomi dan juga politik
dalam kelompok tertentu. Akibat lebih lanjut, perusahaan oligopolistis
yang lebih besar dan punya jaringan dan ikatan yang raksasa tadi tidak
hanya mendikte pasar, dalam hal ini berarti konsumen atau masyarakat
luas, melainkan juga pada akhirnya bisa mendikte pemerintah untuk tunduk
pada kepentingan mereka. Karena itu, kalau satu perusahaan telah
menaikkan-atau dalam kasus tertentu menurunkan-harga produknya, dengan
serta-merta perusahaan lain pun akan melakukan hal yang sama. Maka,
persaingan diantara mereka lalu tidak terjadi.
Ini sungguh menakutkan. Dalam hal monopoli artificial yang muncul
karena dukungan dan kolusi dengan pemerintah, pemerintah masih punya
posisi kuat untuk menjinakkan kekuatan ekonomi monopolistis dalam
kekuasaan pemerintah. Pada perusahaan oligopolistis, kekuatan dan
kekuasaan ekonomi dan politik ini tumbuh di luar kendali pemerintah.
Sampai tingkat tertentu mereka bisa dianggap sebagai aset bangsa: bisa
kuat dalam persaingan global dan karena itu bisa mendatangkan devisa
yang besar bagi negara. Ini berarti pemerintah bisa sulit mengambil
langkah tertentu untuk mengendalikan mereka, kalau bukan malah didikte
oleh perusahaan-perusahaan oligopolistis ini.
Lebih parah lagi kalau dalam kurun waktu tertentu pemerintah
membutuhkan produksi dan distribusi massal dari produk tertentu, dan
ternyata perusahaan oligopolistis ini menjadi dewa penyelamat karena
kekuatan modal dan pasar yang dimilikinya. Ini pada gilirannya akan
menyulitkan posisi pemerintah dalam mengambil sikap terhadap sepak
terjang perusahaan ini.
Tentu saja tidak disangkal bahwa perusahaan yang besar dengan
kekuatan ekonomi, bahkan sampai tingkat tertentu kekuasaan politik, yang
besar tidak selamanya jelek. Perusahaan yang besar dan dalam arti
tertentu oligopolies dapat menguntungkan tidak hanya bagi perusahaan itu
melainkan juga bagi bangsa dan masyarakat pada umumnya. Misalnya,
perusahaan yang besar dengan kekuatan ekonomi dan politik yang besar
dapat mengerahkan sumber daya yang besar, memproduksi barang dan jasa
pada tingkat harga yang lebih murah dan efisien, dan mampu mengumpulkan
investasi yang besar yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan
perekonomian nasional. Namun di pihak lain, perusahaan-perushaan
oligopolies itu membawa persoalan etis yang serius: terlanggarnya
keadilan (pada pihak-pihak tertentu yang dirugikan: konsumen dan
pengusaha lain), ada praktek yang tidak fair atau curang,
munculnya ketimpangan ekonomi karena perusahaan oligopolistis menumpuk
kekayaan ekonomi dengan mengeruk dan memeras rakyat banyak melalui harga
yang lebih tinggi. Jadi, yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana
perusahaan besar yang oligopolistis itu bisa menggunakan pengaruhnya
secara positif demi kepentingan bersama; bagaimana ia dapat memanfaatkan
kekuatan ekonomi dan politiknya itu demi kemajuan bangsa bukannya
merugikan masyarakat.
3.Suap
Salah satu praktek yang sampai tingkat tertentu
juga mengarah pada monopoli dan juga merusak pasar adalah suap. Suap
mengarah pada monopoli karena dengan suap penyuap mencegah perusahaan
lain untuk masuk dalam pasar untuk bersaing secara fair. Dengan
suap, perusahaan penyuap mendapat hak istimewa untuk melakukan bisnis
tertentu yang tidak bisa dimasuki oleh perusahaan lain. Melalui suap,
pihak pemerintah melakukan peraturan tertentu untuk melindungi kegiatan
bisnis perusahaan penyuap tadi atau mengeluarkan langkah kebijaksanaan
tertentu yang bertujuan untuk melindungi perusahaan penyuap tadi. Dengan
demikian, praktis ada hambatan baik secara legal-yuridis maupun praktis
bagi perusahaan lain untuk masuk dalam industri sejenis. Jadi, praktek
suap juga akhirnya menyebabkan perusahaan lain kalah dan tersingkir
secara menyakitkan melalui permainan yang tidak fair. Bersama dengan
itu, dalam situasi tertentu, penyuap sesukanya menentukan harga dan
dengan demikian mendikte dan merugikan konsumen. Akibat lebih lanjut
adalah bahwa harga tidak mencerminkan fluktuasi dan mekanisme pasar dan
juga tidak mencerminkan mutu barang yang dijual. Sebagaimana dikatakan
Velasquez, “Perusahaan yang penyuap bisa menetapkan harga yang lebih
tinggi, melakukan pemborosan sumber daya, dan mengabaikan kualitas dan
kontrol biaya karena monopoli yang diperolehnya melalui suap akan
menjamin keuntungan yang besar tanpa perlu membuat harga atau kualitas
produknya kompetitif dengan harga atau kualitas produk atau perusahaan
lain.
Sebelum kita lihat lebih lanjut aspek moral dari suap ini, ada
baiknya perlu dibuat pembedaan antara suap dan tip. Tip adalah hadiah
atau pemberian cuma-cuma yang diberikan kepada seseorang atau pihak
tertentu sebagai tanda terima kasih atas bantuan atau pelayanan yang
telah diberikannya, kendati bantuan atau pelayanan itu merupakan tugas
dan tanggung jawabnya. Intinya adalah bahwa pemberian sebagai tip selalu
diberikan setelah pelayanan atau bantuan diberikan dan karena itu tidak
menjadi syarat bagi pelaksanaan pelayanan atau bantuan tersebut.
Demikian pula, dalam praktek tip, yang berinisiatif memberi adalah pihak
yang mendapat pelayanan atau bantuan tersebut. Maka, tip adalah bentuk
perilaku etis sebagai ungkapan penghargaan yang tulus atas jasa orang
lain.
Dalam kaitan dengan itu, tip tidak menjadi alat intimidasi secara
halus atau lunak dan samar-samar. Maka, kalaupun tip tidak diberikan
pelayanan berjalan seperti biasa, termasuk pelayanan-pelayanan lain di
kemudian hari. Pelayanan dan bantuan tidak mengalami perubahan entah ada
atau tidak ada tip. Pihak yang memberi bantuan dan pelayanan pun tidak
menggantungkan pelayanan dan bantuan itu pada tip.
Suap justru berbeda sekali dengan tip. Suap diberikan sebelum
pelayanan atau bantuan diberikan dan merupakan syarat bagi pelaksanaan
pelayanan dan bantuan tersebut yang sesungguhnya sudah menjadi tugas,
tanggung jawab dan kewajiban pihak pelaksana itu. Dengan demikian suap
sangat mempengaruhi dan menentukan seluruh pelaksanaan pelayanan,
bantuan, dan transaksi selanjutnya. Bahkan dalam kasus suap, yang
berinisiatif, secara halus, samar-samar atau terang-terangan, adalah
pihak yang mendapat suap itu. Yaitu, pihak pemberi jasa. Maka, bisa
ditebak bahwa dalam kasus tertentu suap menjadi semacam intimidasi.
Atas dasar perbedaan diatas, dapat dikatakan bahwa tip tidak
menimbulkan persoalan etis, sedangkan suap justru menimbulkan berbagai
macam persoalan etis. Tentu saja, dalam budaya kita, tip pun bisa
berubah hakekatnya menjadi suap. Misalnya, pihak tertentu yang diberi
tip lalu merasa seakan terikat secara moral untuk memuluskan jalan bagi
pemberi tip dalam relasi selanjutnya di kemudian hari. Termasuk
didalamnya, dengan tip penerima secara positif mereka seakan berutang
budi dan dengan demikian dengan penuh resiko ingin membalas kebaikan
tersebut dengan melakukan manipulasi tertentu. Ini sangat disayangkan
karena sesungguhnya tidak perlu terjadi. Demikian pula sebaliknya, pihak
pemberi tip cenderung menganggap tip sebagai pengikat dan pelicin bagi
urusan selanjutnya. Padahal tidak perlu. Dalam hal ini, sebaiknya pihak
penerima tetap saja menerimanya, tapi tidak perlu terpengaruh dengan
itu. Katakan saja, kalau dalam “proyek” selanjutnya perusahaan yang
telah memberinya tip tidak memenuhi kualifikasi, pihak penerima tip tadi
tidak harus melakukan manipulasi untuk memenangkan perusahaan yang
pernah memberinya tip tadi. Demikian pula, pihak yang pernah memberi tip
tak harus menganggap pihak penerima tip tadi sebagai “tak tahu balas
budi”. Kalau itu terjadi, tip- yang semula merupakan tanda terima kasih-
telah berubah fungsi menjadi suap. Karena itu, si pembeli itu sendiri
yang sebenarnya punya motivasi jelek.
Jadi, dengan adanya tip atau tidak, pihak yang berwenang- pemberi
jasa- seharusnya hanya mendasarkan dirinya pada prinsip kualifikasi:
kualitas dan keunggulan objektif, atau, dalam kaitan dengan prosedural,
yang datang pertama mendapatkan pelayanan pertama. Kalau ini benar-benar
dipegang, tip akan tetap menjadi praktek budaya yang baik dan tidak
berubah hakikat menjadi suap yang merusak.
Ada beberapa masalah etis yang terkait dengan praktek suap.
Masalah-masalah tersebut sedikit banyaknya punya kemiripan dengan
masalah yang ditimbulkan oleh monopoli dan oligopoli. Yang pertama
adalah bahwa praktek suap adalah praktek yang tidak fair, tidak
adil. Dengan suap pihak lain disingkirkan bukan karena atas dasar
objektif, melainkan karena permainan kotor bernama suap.
Dalam kaitan dengan itu, suap juga menimbulkan masalah ketidakadilan
distributif. Ketidakadilan distributif akibat praktek suap muncul dalam
beberapa wujud. Misalnya, kelompok tertentu yang mendapat proyek, atau
diberi hak monopoli impor, ekspor, atau penjualan produk tertentu, lalu
dengan mudah menjadi kaya raya melalui cara yang tidak fair.
Dana masyarakat yang seharusnya bisa terbagi secara merata di antara
berbagai pengusaha melalui mekanisme persaingan murni dalam pasar, lalu
hanya berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Akibatnya, terjadi jurang
dan ketimpangan sosial ekonomi. Ini lebih terasa lagi kalau suap
dilakukan oleh perusahaan besar, yang karena itu mampu membayar nilai
suap paling besar, dan dengan suap itu ia mendapat monopoli atau
perlindungan untuk menggarap proyek tertentu yang memang sangat
menguntungkan. Terjadilah penumpukan atau konsentrasi kekayaan pada
kelompok tertentu.
Dalam wujud yang lain, ketidakadilan distributif juga muncul dalam
bentuk pembayaran upah buruh yang rendah. Maksudnya, dalam pasar yang
masih memungkinkan untuk adanya persaingan, demi tetap menjaga daya
saing perusahaan penyuap, biaya untuk suap diperoleh dengan cara menekan
upah buruh serendah mungkin. Ini terutama terjadi dalam kaitan dengan
perusahaan dalam negeri yang berorientasi ekspor. Di dalam negeri
perusahaan tersebut melakukan suap untuk mendapat perlindungan dari
pemerintah, tetapi pada taraf global ia harus tetap bersaing dengan
perusahaan dari negara lain. Untuk bisa kompetitif, biaya produksi
ditekan serendah mungkin. Jalan yang ditempuh untuk itu adalah dengan
menekan upah buruh. Padahal, seandainya tanpa suap, upah buruh bisa
lebih tinggi karena alokasi untuk suap bisa dipakai untuk meningkatkan
upah buruh. Dengan menekan upah buruh, ketimpangan ekonomi antara kelas
buruh dan kelas pemilik modal tetap lebar kalau bukan semakin lebar.
Dengan kaitan dengan itu, persoalan moral yang ketiga yang
ditimbulkan oleh suap adalah ekonomi biaya tinggi. Sekilas masalah ini
hanya berkaitan dengan ekonomi. Namun sesungguhnya ini punya nuansa
moral yang kuat. Karena ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh
praktek suap- karena membengkakkan biaya secara tidak perlu- pada
akhirnya juga memberatkan masyarakat, termasuk masyarakat miskin. Jadi,
masyarakat miskin diperas dan dikuras daya belinya untuk kepentingan
pengusaha penyuap. Jelas itu tidak etis.
Keempat, dalam kasus suap yang melibatkan pihak birokrasi pemerintah,
praktek suap melahirkan praktek kenegaraan yang tidak etis karena
pelayanan publik yang menjadi tugas, tanggung jawab, dan kewajiban moral
birokrasi pemerintah diperjualbelikan. Dalam bahasa yang lebih populer,
suap merupakan tindakan manipulasi jabatan dan kedudukan. Ini tidak
hanya merendahkan martabat pejabat birokrasi tersebut- atau malah
memperlihatkan rendahnya moralitas dan integritas moral pejabat-
melainkan juga merendahkan martabat birokrasi pemerintah sebagai pelayan
publik dan mengganggu kehidupan bersama. Pada gilirannya, karena hampir
semua pelayanan publik hanya akan dijalankan secara baik kalau ada
suap, kepastian hukum dan kepastian ketatanegaraan pun tidak ada. Dengan
kata lain, kepastian mekanisme dan sistem yang baik dan etis tidak ada.
Yang ada hanyalah kepastian sistem yang korup: ada uang dan pelayan.
Yang lebih parah lagi adalah perasaan dipermainkan dan menjadi mainan
birokrasi. Dalam hal ini pihak yang membutuhkan jasa pemerintah
sehubungan dengan kegiatan bisnis dilempar dari satu meja ke meja yang
lain, padahal itu bukan merupakan prosedur resmi. Akibat lebih lanjut,
kepercayaan masyarakat terhadap bangsa sendiri menjadi hilang. Muncullah
kerugian yang wajar- kendati seharusnya tidak perlu- dari pada mencari
jasa pelayanan publik terhadap birokrasi pemerintah. Ini pada gilirannya
berkembang menjadi sebuah mental budaya yang merendahkan martabat
bangsa sendiri.
Kelima, masalah moral lain yang terkait dengan praktek suap adalah
hilangnya profesionalisme, khususnya komitmen sebagai orang yang
profesional di bidangnya. Ini berlaku baik pada pemberi suap maupun pada
penerima. Pemberi suap mendapat proyek atau kemudahan bukan karena
profesional, melainkan karena suap. Untuk selanjutnya dia tidak berusaha
mengembangkan profesionalismenya melainkan hanya mengandalkan suap.
Demikian pula, pihak penerima tidak lagi mendasarkan tugas pelayanannya
pada kualitas profesional, melainkan pada suap tadi. Ini pada gilirannya
akan melemahkan bangsa dan negara secara keseluruhan.
4.Undang-Undang Anti-Monopoli
Terlepas dari kenyataan bahwa dalam situasi
tertentu kita membutuhkan perusahaan besar dengan kekuatan ekonomi yang
besar, dalam banyak hl praktek monopoli, oligopoli, suap, harus dibatasi
dan dikendalikan, karena sebagaimana telah kita lihat, kerugian
kepentingan masyarakat pada umumnya dan kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat. Strategi yang paling ampuh untuk itu, sebagaimana juga
ditempuh oleh negara maju semacam Amerika, adalah melalui
undang-undang-anti monopoli. Dalam undang-undang itu sudah terkandung
pula larangan untuk oligopoli dan suap.
Namun ini saja tidak cukup. Pada tempat pertama perlu ada kemauan
baik di pihak pemerintah untuk benar-benar membasmi praktek monopoli,
oligopoli, dan suap ini. Diakui atau tidak, praktek monopoli, oligopoli,
dan sup bersentuhan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu dalam
birokrasi pemerintah. Maka, pertanyaannya adalah beranikah pemerintah
mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan mereka sebagai
pribadi, sebagai oknum. Kalau jawabannya positif, kiranya undang-undang
anti-monopoli akan menjadi pilihan utama mereka. Sebabnya, sebagaimana
tujuan dan fungsi utama pemerintah adalah demi melindungi hak dan
kepentingan masyarakat, undang-undang anti-monopoli pun bertujuan
melindungi hak dan kepentingan masyarakat dari keserakahan pihak manapun
yang ingin mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengorbankan
kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat, melalui
car-car yang curang dan tidak fair.
Sebagai gambaran, ada baiknya kita lihat tujuan yang ada di balik
undang-undang antitrust di Amerika. Undang-undang antitrust yang paling
penting adalah apa yang dikenal sebagai The Sherman Act, tahun 1890.
Undang-undang ini dapat dianggap sebagai induk peraturan
perundang-undangan mengenai kontrol atas monopoli dan praktek-praktek
perdagangan yang tidak fair. Undang-undang ini kemudian
disempurnakan oleh The Clayton Act dan The Federal Trade Commission Act
pada tahun 1914. Tujuan utama dari undang-undang antitrust ini adalah,
pertama, untuk melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara
berbagai kekuatan ekonomi dalam pasar. Ini dijamin melalui peraturan
yang melarang monopoli, persaingan yang tidak sehat, kolusi, dan
permainan harga yang tidak sehat. Asumsinya, konsumen akan lebih
diuntungkan melalui persaingan murni yang sehat dalam pasar. Karena itu,
harga barang dan jasa harus dibiarkan berfluktuasi sesuai dengan
mekanisme murni dari pasar.
Dengan ini terlihat jelas bahwa undang-undang anti-monopoli bukan
membatasi pasar, justru sebaliknya mengaktualkan cita-cita pasar bebas
dan dengan demikian menjamin agar pasar yang fair benar-benar
berfungsi. Ini sekaligus menunjukkan bahwa yang namanya pasar bebas,
sekali lagi, bukanlah pasar tanpa kendali, melainkan adalah pasar dengan
kendali, dengan pemerintah aktif berfungsi didalamnya untuk membuat
aturan main dan melaksanakan aturan main demi berfungsinya pasar sesuai
dengan hakekatnya: tidak ada pihak yang dirugikan secara curang oleh
pihak lain.
Kedua, dalam kaitan dengan itu, undang-undang anti-monopoli juga
bertujuan melindungi kesejahteraan konsumen dengan melarang
praktek-praktek bisnis yang curang dan tidak fair. Asumsinya,
dengan persaingan yang sehat konsumen akan memperoleh barang dan jasa
yang semakin beragam sesuai dengan kebutuhannya. Konsumen mempunyai
pilihan yang variatif sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi secara
maksimal sesuai dengan selera dan preferensinya. Tapi bersamaan dengan
itu kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan daya belinya.
Karena, dengan persaingan yang sehat mereka dapat memperoleh barang
dengan harga yang lebih murah pada tingkat kualitas yang terjamin baik.
Maka, dengan pengeluaran yang sama mereka dapat memenuhi lebih banyak
kebutuhan hidupnya.
Ketiga, selain itu undang-undang anti-monopoli juga bermaksud
melindungi perusahaan kecil dan menengah dari praktek bisnis yang
monopolis dan oligopolistis. Asumsinya, tanpa undang-undang
anti-monopoli ada bahaya yang cukup besar bahwa perusahaan yang besar
dengan mudah membeli dukungan pemerintah dan mengadakan persekongkolan
dengan perusahaan lain yang besar untuk mendikte harga dan dengan
demikian menjatuhkan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil yang tidak
bisa bersaing dengan mereka.
Dengan melihat tujuan dari undang-undang antitrust ini, kita bisa
melihat bahwa melalui undang-undang semacam ini fungsi pasar dan fungsi
pemerintah dipadukan dan dijamin didalamnya: sama-sama berfungsi untuk
melindungi hak dan kepentingan setiap dan semua orang secara sama dalam
bidang ekonomi. Karena itu, kalau pemerintah memang benar-benar punya
kemauan baik dan tekad untuk berfungsi menjaga dan melindungi
kepentingan bersama seluruh masyarakat, maka undang-undang anti-monopoli
merupakan suatu keharusan, khususnya bagi dan sejalan dengan sistem
pasar bebas. Undang-undang anti-monopoli ini tidak hanya penting dan
niscaya dari segi ekonomi (yaitu bagi pertumbuhan dan efisiensi
ekonomi), melainkan juga dari segi etis: kebebasan konsumen dan
pengusaha, keadilan, praktek bisnis yang fair dan semacamnya.
Akan tetapi, sebagaimana telah disinggung berulang kali dalam buku
ini, ini saja tidak cukup. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah
kemauan dan keseriusan pemerintah untuk menerapkan undang-undang
anti-monopoli ini sebagai aturan main bagi kehidupan ekonomi dan bisnis
kita. Ini penting, karena kendati ada undang-undangnya, tetapi kalau
tidak dilaksanakan, atau dilaksanakan hanya sesuai dengan keinginan atau
kepentingan oknum birokrasi pemerintah, maka pada akhirnya hanya
merupakan dagelan politik belaka.
Terlepas dari ada tidaknya kemauan baik dan tekad pemerintah tersebut
diatas, ada keyakinan yang cukup kuat bahwa gelombang globalisasi
sampai tingkat tertentu berdampak positif memaksa pemerintah untuk lebih
terbuka dalam berbagi kebijaksanaan ekonomi dan bisnisnya. Salah satu
di antaranya adalah desakan dari dalam maupun dari luar ekonomi
Indonesia untuk menghapus berbagai praktek yang bersifat monopolistis
dan oligopolistis. Paling kurang, karena praktek-praktek semacam ini
anti-pasar dan tidak fair. Jadi, pada akhirnya undang-undang
anti-monopoli akan dilahirkan dan diberlakukan, paling kurang karena
alasan ekonomi. Ini merupakan suatu keharusan zaman sesuai dengan sistem
ekonomi yang bernama pasar bebas atau ekonomi global.
Selain undang-undang anti-monopoli, kiranya dalam sistem pasar bebas,
kita membutuhkan berbagai aturan perundang-undangan lainnya seperti
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perlindungan Tenaga
Kerja, Undang-Undang Periklanan, atau bahkan Undang-Undang Persaingan
yang Sehat. Semuanya ini didasarkan pada satu semangat moral: demi
melindungi hak dan kepentingan semua pihak atau agar hak dan kepentingan
siapapun dalam pasar yang terbuka dan penuh persaingan ketat tidak
dirugikan (no harm). Semua aturan perundang-undangan ini
dibutuhkan oleh semua pelaku bisnis dan ekonomi demi kepentingan
masing-masing dan kepentingan bersama. Semua peraturan
perundang-undangan itu dilandasi oleh satu tekad untuk menciptakan iklim
bisnis yang baik dan etis, yang pada gilirannya akan sangat kondusif
bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Maka, semua
undang-undang semacam itu harus mendapat perhatian utama dalam
kebijaksanaan ekonomi pemerintah, khususnya dalam menghadapi globalisasi
ekonomi.
Kalau pemerintah tidak siap dengan undang-undang semacam itu, kita akan keteter
kalau bukan akan menjadi bulan-bulanan kritik dari pihak luar.
Konsekuensi dari kita memasuki, bahkan ikut memprakarsai, perdagangan
global adalah bahwa kebijaksanaan ekonomi kita pun harus dijiwai dan
mengarah ke semangat perdagangan global yang didasarkan pada persaingan
yang terbuka dan fair. Kebijaksanaan semacam itu juga penting bagi pengusaha kita agar mereka terbiasa bersaing secara fair dan
terbuka dan tidak hanya sekadar menjadi besar dibalik proteksi-proteksi
pemerintah. Kalau terus-menerus hanya bisa menjadi besar karena
proteksi, ini akan menyulitkan pengusaha kita untuk bisa benar-benar
bersaing dalam pasar global. Akibatnya, pasar global hanya akan
mendapatkan efeknya yang merugikan dan bukan memanfaatkannya sebagai
peluang demi kepentingan kita.
Ada dua pertanyaan yang relevan dilontarkan disini. Pertama, apakah
dengan semua undang-undang itu, sistem ekonomi pasar masih benar-benar
bebas? Jawabannya tentu saja, YA! Bahkan harus ditegaskan bahwa semua
aturan perundang-undangan itu merupakan perwujudan konkrit dari jiwa dan
semangat pasar bebas. Karena itu, kendati ada aturan-aturan tertentu,
aturan itu tidak membatasi pasar dan pengusaha, melainkan sebaliknya
justru memberi kerangka dan aturan main yang jelas bagi kebebasan
berusaha dalam pasar. Aturan-aturan itu memberi kepastian dan jaminan
bagi kebebasan berusaha dalam pasar. Hanya dengan peraturan-peraturan
perundang-undangan itu bisa diharapkan bahwa cita-cita persaingan sehat
dari ideologi pasar dapat diwujudkan. Karena itu semua peraturan
perundang-undangan itu tidak kontradiktif dengan pasar yang mengandalkan
persaingan bebas, karena persaingan tersebut hanya bisa etis kalau
didasarkan pada dan dijalankan dibawah aturan perundang-undangan
tersebut sebagai perwujudan semangat dan jiwa pasar bebas itu sendiri.
Dengan demikian, kendati ada aturan perundang-undangan seperti itu
semua pelaku bisnis akan tetap bebas, paling kurang dalam pengertian,
pertama, bebas dalam kerangka aturan main atau rambu-rambu yang telah
digariskan tersebut. Kedua, dalam arti pasar tetap terbuka bagi semua
pelaku ekonomi mana pun yang bisa memenuhi aturan main tersebut. Ketiga,
dalam arti barang, jasa, modal, dan transaksi bisnis tidak dihambat
secara irasional hanya demi kepentingan kelompok tertentu dengan
mengorbankan kepentingan kelompok lain atau kepentingan masyarakat dan
dengan demikian dengan mengorbankan rasa keadilan masyarakat.
Atas dasar ini, salah satu persiapan serius untuk memasuki sistem
ekonomi pasar bebas yang bersifat global adalah dengan mengeluarkan
berbagai aturan perundang-undangan yang akan menjadi aturan main dalam
berbagai bidang dan segi kegiatan bisnis, khususnya di tanah air. Kalau
tidak, ekonomi pasar tidak akan menjadi ekonomi tanpa arah dan dengan
demikian akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri, demi meraup keuntungan bagi dirinya sendiri di
tengah ketiadaan aturan main. Ini suatu kebutuhan niscaya yang harus
dijawab secara serius oleh pemerintah dan semua pihak. Dengan peraturan
perundang-undangan itu secara konsekuen, cepat atau lambat iklim bisnis
kita akan menjadi jauh lebih baik dan etis, tanpa berarti tidak ada lagi
kecurangan.
Pertanyaan kedua adalah apakah dengan semua aturan perundang-undangan
itu, ekonomi pasar, akan dengan sendirinya menjamin suatu iklim dan
kegiatan bisnis yang baik dan etis? Tentu saja harus diakui bahwa dengan
semua aturan perundang-undangan itu tidak lalu dengan sendirinya
berarti iklim dan kegiatan bisnis akan menjadi baik dan etis sepenuhnya.
Tidak. Tetapi, paling kurang berarti kecurangan, berbagai praktek
monopoli, oligopoli dan suap bisa dihindari atau paling kurang
diperkecil. Lebih dari itu, iklim dan kegiatan bisnis menjadi lebih
pasti. Dalam pengertian, kalau ada pihak yang curang bisa
dipastikan-sejauh pemerintah serius dengan itu-akan ditindak secara fair. Ini pada gilirannya mendorong pada pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan fair, dan juga akhirnya merasa aman karena ada aturan main yang jelas yang melindungi kepentingan masing-masing pihak secara fair.
Sumber : http://akirahydekinato.wordpress.com/2010/03/16/makalah-monopoli-dan-kebijakan-pemerintah/
Selasa, 20 November 2012
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan",
di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan
faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibiliy (CSR),
muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa pada dasarnya karakter
alami dari setiap perusahaan adalah mencari keuntungan semaksimal
mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat dan
lingkungan alam. Seiring dengan dengan meningkatnya kesadaran dan
kepekaan dari stakeholder perusahaan maka konsep tanggung jawab
sosial muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan
kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Tanggung jawab
sosial perusahaan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu
konsep yang mewajibkan perusahan untuk memenuhi dan memperhatikan
kepentingan para stakeholder dalam kegiatan operasinya mencari keuntungan. Stakeholder yang dimaksud diantaranya adalah para shareholder, karyawan (buruh), kustomer, komunitas lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain sebagainya.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan saat ini.
Dalam
pengamatan saya, tanggung jawab sosial perusahaan sering didefinisikan
secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya standar baku bagi
perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan masih anggap sebagai suatu
kosmetik belaka untuk menaikkan pamor perusahaan atau menjaga reputasi
perusahaan di masyarakat. Oleh karenanya ada asumsi jika perusahaan
sudah memberikan sumbangan atau donasi kepada suatu institusi sosial
berarti sudah melakukan tanggung jawab sosial sebagai sebuah perusahaan.
Kembali menurut saya, penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini baru dilakukan diantaranya adalah
1.
Pengaruh dari globalisasi dan internasionalisasi yang memaksa
perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial
perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa
tekanan dari pihak ketiga ( distributor, buyer, client, dan shareholder )
yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka
dapat menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan lokal
dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya. Kondisinya ini biasanya dialami
oleh perusahaan yang berada di negara miskin dan berkembang dimana
memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada investor dari negara
maju. Pernah seorang temen bercerita bahwa Buyer mereka yang dari Jepang
mau memberikan order JIKA perusaaan mendirikan toilet yang memadai bagi
karyawan perusahaan yang berjumlah ribuan. Karena menurut buyer
tersebut toilet pabrik sangat tidak memadai baik dari jumlah dan
kualitasnya. Yah..terpaksa perusahan mengikuti daripada kehilangan
order.
2.
Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi
tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha
ekplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahan tambang lebih
mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan perusahaan non
tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut diwajibkan untuk melakukan
penyeimbangan sebagai dampak dari eksplorasi yang dilakukan seperti
melakukan reklamasi alam, reboisasi, mendukung pencinta alam,
berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan sebagainya. Kenyataannya
apakah perusahaan tersebut benar-benar menaruh perhatian terhadap alam
dan lingkungan sekitarnya, bukankah mungkin tanggung jawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan hanya sebagai kedok untuk melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan sehingga tidak dikritik oleh masyarakat.
3.
Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan adalah
pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyataannya bahwa
pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya ancaman mogok atau
unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu negosiasi antara
manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya akan memperhitungkan
dampak yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan
merugikan perusahaan maka (biasanya) tuntutan akan direalisasikan.
4.
Bentuk lainya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas pemberian
sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang sifatnya momentum.
Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi dapat dijadikan sebagai
momentum bagi perusahaan yang membentuk citra dan reputasi baik di mata
masyarakat.
Masih
banyak contoh penerapaan tanggung jawab sosial perusahaan pada saat ini
yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan atau mengikuti aturan main
supaya perusahaan dapat tetap menjaga citra dan existensinya di hadapan
para stakeholdernya.
Kritik terhadap Tanggung jawab sosial perusahaan
Dari beberapa fakta diatas kritik saya sebagai warga negara terhadap penerapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah:
1.
Perspektif tanggung jawab sosial perusahaan sering dijadikan atribut
bagi perusahan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan
caranya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat, asosiasi,
dan pemerintah. Seperti perusahaan tambang, perusahan kayu, perusahaan
pengelola hasil bumi, dan sejenisnya. Dampak yang ditimbulkan perusahan
tidak seimbang dengan usaha untuk merehabilitasi alam.
2.
Untuk bisnis tertentu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat dijadikan
perisai sebagai penetralisir dampak dari bisnis yang dijalankan
sekalipun bertentangan, misalkan perusahaan rokok sebagai sponsor event
olah raga. Sekalipun masyarakat mengetahui bahayanya rokok di lain pihak
masyarakat membutuhkan olahraga.
3.
Ada kalanya tanggung jawab sosial perusahaan dapat menjadi bumerang
bagi perusahaan itu sendiri walaupun sudah melakukan sosialisasi kepada
masyarakat. Misalkan yang terjadi pada perusahaan fast food Mc
Donal, pada awalnya tanggung jawab sosial perusahaan disosialisasikan
secara menyeluruh kepada dunia mengenai keterlibatan Mc Donal dalam
memperhatikan anak-anak, pendidikan dan kehidupan sosial di masyarakat.
Tetapi Mc Donal justru menuai demo dari para pencinta binatang karena
dianggap pembunuh ayam yang kejam, iklan yang menyesatkan, dan praktek
bisnis yang tidak sehat.
4.
Bagi perusahaan investor dari negara maju, adanya regulasi mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan yang ketat dapat menjadi alternative
untuk berpindah ke negara yang memiliki regulasi tanggung jawab
sosialnya lebih longgar. Dilema ini yang dihadapi oleh negara miskin dan
berkembang, jika terlalu ketat maka otomatis investor akan mengurungkan
niatnya berinvestasi tetapi sebaliknya jika terlalu longgar akan
merugikan rakyat dan lingkungan alam.
Perusahaan
yang berhasil dalam penerapan tanggung jawab sosial jumlahnya relatif
sedikit karena mendapatkan kepercayaan dari para stakeholder
harus diuji melalui waktu. Komitmen dan konsistensi yang dilakukan oleh
perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial akan terlihat
hasilnya secara bertahap bukan secara instan. Best practice perusahaan yang berhasil adalah The Body Shop,
justru karena berfokus kepada kepentingan public, kekerasan dalam
keluarga, kesehatan ibu dan anak, bencana alam, dan kegiatan sosial
lainnya, perusahan ini sukses merebut perhatian dari para
pelangganannya.
Mencari Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Bagaimana mencari format ideal tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat diperoleh mutual benefit antara perusahan dengan stakeholdernya?. Untuk mendapatkan format ideal tanggung jawab sosial perusahaan, beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perusahan harus melakukan gap analisis antara apa yang ideal harus dilakukan dengan apa yang telah dilakukan (existing)
saat ini. Hasil dari gap analisis ini dapat menjadi acuan bagi
perusahaan untuk mendapatkan solusi yang benar-benar dibutuhkan sehingga
kehadiran perusahaan tersebut memberikan dampak positif bagi stakeholder.
2.
Konsistensi dalam menjalankan komitmen harus menjadi bagian dan gaya
hidup dari semua level manajemen perusahaan. Oleh karenanya tanggung
jawab sosial perusahaan harus menjadi bagian dalam strategic plan perusahaan mulai di mulai dari penentuan visi, misi, strategi, core belief, core value, program, penyusunan anggaran sampai kepada evaluasi. Tujuan dengan adanya strategic plan ini adalah untuk menjaga kesinambungan perusahaan di masa yang akan datang. Di dalam strategic plan faktor tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai good corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan strategic plan ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard perusahaan di dalam menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang digunakan dapat berupa metode balanced scorecard atau hanya penerapan key performance indicator disetiap objektif yang ingin dicapai.
3.
Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu
divisi tersendiri secara professional sehingga pertanggungajawaban
terhadap manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur
kinerjanya. Divisi ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan secara
cepat dan tuntas semua perkara (isu) yang berhubungan dengan para stakeholder.
Divisi ini harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan
pemerintah sebagai regulator, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi yang
berhubungan, dan masyarakat sehingga keputusan yang diambil dapat
mengakomodir semua kepentingan. Dalam prakteknya staff dari divisi ini
dapat diisi oleh personal dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder.
4.
Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus untuk
menagani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat
menjadi mediator dan fasilitator bagi semua pihak yang berkepentingan.
Fungsi lainnya dari department ini adalah sebagai auditor yang
memberikan rangking dalam periode tertentu bagi semua perusahaan sesuai
dengan bidang dan kelasnya, dengan adanya ranking ini memicu perusahaan
untuk serius menangani masalah tanggung jawab sosial perusahaan.
Departemen ini harus juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi
untuk menjaga transparansi dalam proses audit.
5.
Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai pendukung perusahaan.
Oleh karena itu, perusahaan dapat memanfaatkan TIK semaksimal mungkin
untuk menciptakan proses yang efisien, efektif, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Misalkan dengan menggunakan software, internet, portal, dan teleconference sebagai alat komunikasi dengan stakeholder yang terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan.
Sudah
saatnya setiap perusahaan memberikan perhatian yang serius kepada
masalah tanggung jawab sosial, karena terbukti tanggung jawab sosial
perusahaan memiliki peranan yang signifikan dalam keberhasilan
perusahaan di masa yang akan datang. Disamping itu, tanggung jawab
sosial perusahaan dapat menyeimbangkan perusahaan dalam mencapai tujuan
komersil dan tujuan non komersial.
Sumber : http://alchoyr.blogspot.com/2011/10/tanggung-jawab-sosial-perusahaan.html
ETIKA PASAR BEBAS
ETIKA PASAR BEBAS
Pasar bebas adalah system ekonomi yang lahir untuk mendongkrak system ekonomi yang tidak etis dan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dengan memberi kesempatan berusaha yang sama, bebas, dan fair kepada semua pelaku ekonomi. Rasanya sia-sia kita mengharapkan suatu bisnis yang baik dan etis kalau tidak di tunjang system social politik dan ekonomi yang memungkinan untuk itu. Dengan kata lain, betapun etisnya etika pelaku bisnis, jika system ekonomi yang berklaku sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianutnya, akan sangat menyulitkan. Betapa etisnya pelaku ekonomi, kalaupun system yang ada melanggengkan praktek-praktek bisnis yang tidak fair seperti monopoli, kolusi, manipulasi, dan nepotisme secara transparan dan arogan, akan sulit sekali mengharapkan iklim bisnis yang baik dan etis.
Ini berarti, supaya bisnis dapat dijalankan secara baik dan etis, dibutuhkan puluh perangkat hokum yang baik dan adil. Harus ada aturean main yang fair, yang dijiwai oleh etika dan moralitas.
1. Keunggulan moral pasar bebas
Pertama, system ekonomi pasar bebas menjamin keadilan melalui jaminan perlakuan yang sama dan fair bagi semua pelaku ekonomi.
Kedua, ada aturan yang jelas dan fair, dan k arena itu etis. Aturan ini diberlakukan juga secara fair,transparan,konsekuen, dan objektif. Maka, semua pihak secara objektif tunduk dan dapat merujuknya secara terbuka.
Ketiga, pasar member peluanyang optimal, kendati belum sempurna, bagi persingan bebas yang sehat dan fair.
Keempat, dari segi pemerataan ekonomi, pada tingkat pertama ekonomi pasar jauh lebih mampu menjamin pertumbuhan ekonomi.
Kelima, pasar juga memberi peluang yang optimal bagi terwujudnya kebebasan manusia.
2. Peran Pemerintah
Syarat utama untuk menjamin sebuah system ekonomi pasar yang fair dan adil adalah perlunya suatu peran pemerintah yang sangat canggih yang merupakan kombinasi dari prinsip non-intervention dan prinsip campur tangan, khususnya demi menegakan keadilan.
Dengan kata lain, syarat utama bagi terwujudnya system pasr yang adil dan dengan demikian syarat utama bagi kegiatan bisnis yang baik dan etis adalah perlunya suatu pemerintah yang adil juga. Artinya, Pemerintah yang benar-benar bersikap netral dan tunduk pada aturan main yang ada, berupa aturan keadilan yang menjamin hak dan kepentingan setiap orang secara sama dan fair.
Maka siapa saja yang melanggar aturan main akan ditindak secara konsekuen, siapa saja yang dirugikan dak dan kepentingannya akan dibela dan dilindungi oleh pemerintah terlepas dari stastus social dan ekonominya.
Sumber : http://zulkarnaen-zulkarnaen.blogspot.com/2009/12/etika-pasar-bebas.html
IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA
IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA
Iklan ialah bentuk komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan suatu produk sehingga mengubah pikiran konsumen untuk melakukan pembelian.
Sumber : http://fraditya13.blogspot.com/2012/11/etika-bisnis-iklan-dan-dimensi-etisnya.html
Iklan ialah bentuk komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan suatu produk sehingga mengubah pikiran konsumen untuk melakukan pembelian.
1.
Fungsi Iklan
sebagai pemberi informasi dan pembentuk opini
Iklan sebagai pemberi informasi tentang produk yang
ditawarkan di pasar.
Bagi produsen ia tidak hanya sebagai media informasi yang
menjembatani produsen dengan konsumen, tetapi juga bagi konsumen iklan adalah
cara untuk membangun citra atau kepercayaan terhadap dirinya.
Iklan sebagai pembentuk pendapat umum
tentang sebuah produk.
Iklan sebagai pembentuk pendapat umum dipakai
oleh propagandis sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik. Dalam hal ini,
iklan bertujuan untuk menciptakan rasa ingin tahu atau penasaran untuk memiliki
atau membeli produk.
2.
Beberapa persoalan
etis periklanan
Dunia periklanan memang merupakan dunia
glamour dalam bisnis modern saat ini, selain sebagai alat promosi kepada
konsumen, iklan merupakan salah satu alat komunikasi interaktif antara konsumen
dan produsen. Iklan-iklan yang ditayangkan
secara massal dan intensif kepada masyarakat pada umumnya tidak mendidik,
selain itu periklanan memamerkan suatu suasana hedonis dan meterialistis yang
pada akhirnya menumbuhkan ideologi konsumerisme.
Penayangan suatu iklan pada ruang publik seharusnya
menyandarkan diri pada prinsip utama serta fungsi utama sebuah iklan.Tentunya
kita telah mengetahui bahwa iklan berfungsi sebagai alat informatif dan
persuasif. Iklan yang sesuai dengan etika binis adalah iklan yang
penyampaiannya kepada masyarakat sesuai dengan kebenaran, artinya apa-apa yang
diinformasikan melalui iklan tersebut memang pada kenyataannya adalah benar.
3.
Makna Etis Menipu
dalam Iklan
Selain itu, manipulasi dalam periklanan juga merupakan hal
yang cukup merugikan bagi konsumen. Manipulasi disini diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh si pengiklan terhadap si konsumen untuk membeli
produk yang dihasilkan.
Fungsi iklan pada akhirnya membentuk
citra sebuah produk dan perusahaan dimata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh
kesesuain antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang
disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relefan dalam hal ini
adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah
atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan.
4.
Kebebasan Konsumen
Menurut
John F. Kenedy ada beberapa hak dasar konsumen yaitu :
·
Hak akan keselamatan
·
Hak untuk mendapatkan informasi
·
Hak untuk memilih
·
Hak untuk didengar
·
Hak untuk menikmati lingkungan yang
bersih.
Konsumen merupakan stakeholder yang
sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak
ada konsumen yang menggunakan produk atau jasa yang di buat dan ditawarkan oleh
bisnis.
Konsumen harus diperlakukan dengan
baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat
mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Etika dalam praktek bisnis
sejalan dengan kesuksesan dalam berbisnis.
Perhatian
untuk konsumen :
a)
Hak
Atas Keamanan
Banyak produk mengandung resiko tertentu
untuk konsumen, khususnya resiko untuk kesehatan dan keselamatan.
b)
Hak
Atas Informasi
Konsumen berhak mengetahui segala
informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesungguhnya
produk itu maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga resiko yang menyertai
pemakainnya.
c)
Hak
Untuk Memilih
Dalam ekonomi pasar bebas di mana
kompetisi merupakan unsur hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara pelbagai
produk dan jasa yang di tawarkan.
d)
Hak
Untuk Didengarkan
e)
Konsumen adalah orang yang
menggunakan produk atau jasa. Ia berhak bahwa keinginannya tentang produk atau
jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama
Keluhannya.
f)
Hak
Lingkungan Hidup
Konsumen memanfaatkan sumber daya alam,
sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan berkelanjutan
proses-proses alam.Sumber : http://fraditya13.blogspot.com/2012/11/etika-bisnis-iklan-dan-dimensi-etisnya.html
BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Pengertian konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :
Kontrak Dianggap Baik Dan Adil :
Kewajiban Produsen :
Pertimbangan Gerakan Konsumen :
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Pengertian konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
- Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
- Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :
- Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
- Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
- Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual
- Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
- Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
- Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya hakikat dan kondisi persetujuan yang mereka sepakat
-
Tidak ada pihak yang memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat kontrak
- Tidak ada pemaksaan
-
Tidak mengikat untuk tindakan yang bertentangan dengan moralitas
-
Memenuhi ketentuan yang melekat pada produk
- Menyingkapkan semua informasi
-
Tidak mengatakan yang tidak benar tentang produk yang diwarkan
-
Produk yang semakin banyak dan rumit
- Terspesialisasinya jenis jasa
- Pengaruh iklan terhadap kehidupan konsumen
- Keamanan produk yang tidak diperhatikan
- Posisi konsumen yang lemah
HAK PEKERJA
HAK PEKERJA
Sumber : http://annie-ocktaviani.blogspot.com/2010/10/hak-pekerja-macam-macam-hak-pekerja.html
MACAM-MACAM HAK PEKERJA
Hak Atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia,karena.:
- Kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia.
- Kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja mamnusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
- Hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak.
Hak
atas pekerjaan ini tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27
ayat 2 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak atas upah yang adil
Hak
atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut
seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan.
Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya bahwa:
- Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar.
- Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
- Bahwa perinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
Hak untuk berserikat dan berkumpul
Untuk
bisa memperjuangkan kepentingannya, khususnya hak atas upah yang adil,
pekerja harus diakui dan dijamin haknya untuk berserikat dan berkumpul.
Yang bertujuan untuk bersatu memperjuangkan hak dan kepentingan semua
anggota mereka. Menurut De Geroge, dalam suatu masyarakat yang adil,
diantara perantara-perantara yang perlu untuk mencapai suatu sistem upah
yang adil, serikat pekerja memainkan peran yang penting.
Ada dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul :
- Ini merupakan salah satu wujud utama dari hak atas kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia.
- Dengan hak untuk berserikat dan berkumpul, pekerja dapat bersama-sama secara kompak memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya atas upah yang adil.
Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja:
- Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
2. Setiap
pekerja berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya
dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan
tersebut.
3. Setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaiknya menolaknya.
Hak untuk diproses hukum secara sah
Hak
ini terutama berlaku ketika seorang pekerja dituduh dan diancam dengan
hukuman tertentu karena diduga melakukan pelanggaran atau kesalahan
tertentu. pekerja tersebut wajib diberi kesempatan untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya, dan kalau ternyata ia tidak bersalah
ia wajib diberi kesempatan untuk membela diri.
Hak untuk diperlakukan secara sama
Pada
perinsipnya semua pekerja harus diperlakukan secara sama, secara fair.
Artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan entah berdasarkan
warna kulit, jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam
sikap dan perlakuan, gaji, maupun peluang untuk jabatan, pelatihan atau
pendidikan lebih lanjut.
Perbedan dalam hal gaji dan peluang harus dipertimbangkan secara rasional
Diskriminasi yang didasrkan pada jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya adalah perlakuan yang tidak adil.
Hak atas rahasia pribadi
Karyawan
punya hak untuk dirahasiakan data pribadinya, bahkan perusahan harus
menerima bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh diketahui oleh
perusahaan dan ingin tetap dirahasiakan oleh karyawan.
Hak
atas rahasia pribadi tidak mutlak, dalam kasus tertentu data yang
dianggap paling rahasia harus diketahui oleh perusahaan atau akryawan
lainnya, misalnya orang yang menderita penyakit tertentu. Ditakutkan
apabila sewaktu-waktu penyakit tersebut kambuh akan merugikan banyak
orang atau mungkin mencelakakan orang lain.
Umumnya
yang dianggap sebagai rahasia pribadi dan karena itu tidak perlu
diketahui dan dicampuri oleh perusahaan adalah persoalan yang menyangkut
keyakinan religius, afiliasi dan haluan politik, urusan keluarga serta
urusan sosial lainnya.
Hak atas kebebasan suara hati.
Pekerja
tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggapnya
tidak baik, atau mungkin baik menurut perusahaan jadi pekerja harus
dibiarkan bebas mengikuti apa yang menurut suara hatinya adalah hal yang
baik.
WHISTLE BLOWING
Whistle
blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh
perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu
bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas.
Rahasia
perusahaan adalah sesuatu yang konfidensial dan memang harus
dirahasiakan, dan pada umumnya tidak menyangkut efek yang merugikan apa
pun bagi pihak lain, entah itu masyarakat atau perusahaan lain.
Whistle
blowing umumnya menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan baik
perusahaan sendiri maupun pihak lain, dan kalau dibongkar memang akan
mempunyai dampak yang merugikan perusahaan, paling kurang merusak nama
baik perusahaan tersebut.
Contoh
whistle blowing adalah tindakan seorang karyawan yang melaporkan
penyimpangan keuangan perusahaan. Penyimpangan ini dilaporkan pada pihak
direksi atau komisaris. Atau kecurangan perusahaan yang membuang limbah
industri ke sungai.
Ada dua macam whistle blowing :
- Whistle blowing internal
2. Whistle blowing eksternal
Langganan:
Postingan (Atom)