Selasa, 20 November 2012

MONOPOLI DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

MONOPOLI DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

1.Monopoli
Monopoli adalah suatu sistem dalam pasar di man hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk dalam bidang industri atau bisnis tersebut .Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk di dalamnya. Karena itu hampir tidak ada persaingan berarti.
Secara lebih tegas perlu kita bedakan antara dua macam monopoli. Pertama adalah monopoli alamiah dan yang kedua adalah monopoli artificial. Monopoli alamiah lahir karena mekanisme murni dalam pasar. Monopoli ini lahir secara wajar dan alamiah karena kondisi objektif yang dimiliki oleh suatu perusahaan, yang menyebabkan perusahaan ini unggul dalam pasar tanpa bisa ditangani dan dikalahkan secara memadai oleh perusahaan lain. Dalam jenis monopoli ini, sesungguhnya pasar bersifat terbuka. Karena itu, perusahaan lain sesungguhnya bebas masuk dalam jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan lain tidak mampu menandingi perusahaan monopolistis tadi sehingga perusahaan yang unggul tadi relatif menguasai pasar dalam jenis industri tersebut.
Memang ada produk pengganti atau alternatif, tapi sering kali produk pengganti ini sulit menyamai dan menyaingi produk unggulan yang memonopoli pasar tadi karena kekhasan produk unggulan tersebut yang sudah disenangi konsumen. Jadi, monopoli perusahaan tersebut memang didasarkan pada keunggulannya dalam pasar. Sementara itu pasar sendiri tetap terbuka untuk dimasuki oleh pesaing-pesaing lain.
Di sini terlihat jelas bahwa kendati secara historis pasar bebas lahir untuk menghapus monopoli yang dikenal dalam sistem ekonomi merkantilistis, pasar sendiri dapat melahirkan jenis monopoli tertentu berupa monopoli alamiah. Hanya saja, tidak ada persoalan moral yang serius dengan jenis monopoli ini, karena monopoli itu dinikmati karena kondisi objektif. Jadi, monopoli ini lahir secara fair, yaitu karena keunggulan teknologi, keunggulan manajemen, keunggulan komposisi ramuan produk tertentu yang digemari konsumen tanpa bisa ditiru perusahaan lain, dan semacamnya. Monopoli ini lahir tanpa direkayasa dan tanpa dukungan politik apa pun, melainkan karena keunggulan, keuletan, kejelian, membaca selera konsumen, dan seterusnya. Maka, tidak ada yang
Yang menjadi masalah adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli artificial. Monopoli ini lahir karena persekongkolan atau kolusi politis dan ekonomi antara pengusaha dan pengusaha demi melindungi kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir karena pertimbangan rasional misalnya demi melindungi industri dalam negeri, demi memenuhi economic of scale, dan seterusnya. Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi sifatnya dan bisa dari yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai pada yang kasar dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa sadar yang pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan merugikan kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
akan mempersoalkan dan menentang jenis monopoli semacam ini.
Termasuk dalam jenis monopoli ini adalah apa yang Milton Friedman sebagai monopoli karena pertimbangan-pertimbangan teknis. Yang dimaksudkan adalah bahwa berdasarkan pertimbangan teknis tertentu, jauh lebih efisien dan ekonomis kalau industri tertentu hanya dikuasai oleh satu perusahaan saja dan bukunya banyak. Contoh yang paling jelas adalah industri telepon, air, dan listrik. Umumnya, perusahaan yang memonopoli industri semacam ini adalah perusahaan pemerintah demi efisiensi dan demi kepentingan bersama. Jadi, jenis monopoli ini pun tidak banyak menimbulkan persoalan etis.
Yang menjadi masalah adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli artificial. Monopoli ini lahir karena persekongkolan atau kolusi politis dan ekonomi antara pengusaha dan pengusaha demi melindungi kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir karena pertimbangan rasional misalnya demi melindungi industri dalam negeri, demi memenuhi economic of scale, dan seterusnya. Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi sifatnya dan bisa dari yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai pada yang kasar dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa sadar yang pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan merugikan kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
Monopoli artificial yang didasarkan pada pertimbangan yang rasional tertentu sesungguhnya tidak menjadi soal kalau kebijaksanaan yang menopolistis itu tetap mengindahkan prosedur yang fair dan adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara politis melainkan juga secara moral. Yang jadi soal adalah, kalaupun ada pertimbangan yang rasional dan objektif, tidak ad prosedur yang fair, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan yang memungkinkan terbukanya peluang yang sama dan fair bagi kompetisi sebelum memenangkan monopoli artificial itu. Monopoli artificial umumnya bersifat sepihak, sewenang-wenang, dan karena itu dianggap curang. Kalaupun monopoli itu didasarkan pada alasan rasional, misalnya demi perlindungan industri dalam negeri atau demi meningkatkan daya saing ekonomi kita, prosedurnya tidak pernah transparan disertai kriteria objektif bagi perusahaan yang pantas untuk mendapat monopoli itu. Maka, timbul pertanyaan yang sangat masuk akal: mengapa perusahaan x yang ditunjuk atau yang mendapat proyek itu dan bukan perusahaan lain. Apa alasan dan pertimbangan rasional penunjukan itu? Apakah proyek itu juga terbuka bagi semua perusahaan lain? Kalau begitu, apa kriteria objektif yang telah menyebabkan perusahaan x yang dipilih? Monopoli atas proyek tersebut-misalnya dengan alasan rasional demi melindungi industri dalam negeri-tentu tidak dipersoalkan .Yang menjadi soal adalah penunjukan sepihak dan tertutup itu.
Yang paling buruk adalah monopoli artificial tanpa ada pertimbangan rasional dan objektif. Sumber paling pokok dari monopoli ini adalah bantuan dari pemerintah entah secara langsung atau tidak langsung, demi melindungi kepentingan bisnis kelompok lain, atau mengorbankan kepentingan bersama, atau pula dengan mengorbankan rasa keadilan dalam masyarakat. Jadi, pemerintah memberi dukungan, bahkan perlindungan politik secara istimewa, melalui aturan atau kebijaksanaan politik ekonomi tertentu, yang pada akhirnya akan menghambat perusahaan dan kelompok usaha lain untuk masuk dalam jenis industri yang sama,demi kepentingan perusahaan monopolistis tertentu.
Berbeda dengan monopoli alamiah, monopoli antifisial menimbulkan beberapa masalah etis yang pelik. Pertama, masalah keadilan. Salah satu aspek keadilan yang dilanggar oleh praktek monopoli artificial adalah dilanggarnya prinsip perlakuan yang sama bagi semua pengusaha atau kelompok bisnis. Dengan praktek monopoli ada kelompok yang diperlakukan secara istimewa, bahkan tanpa alasan yang rasional, sementara yang lain disingkirkan secara menyakitkan dan secara tidak fair. Mereka terpaksa dan dipaksa mengalah demi kepentingan kelompok tertentu dengan kedok kepentingan nasional. Maka, jelas ada kelompok pengusaha yang dirugikan.
Dalam kaitan dengan ini yang juga menyakitkan dan menimbulkan persoalan etis adalah bahwa negara yang seharusnya bersikap netral tak berpihak, dengan praktek monopoli itu telah bertindak secara sepihak. Ini sungguh menyakitkan karena negara telah memainkan dan mempraktekkan politik diskriminasi dalam bidang ekonomi.
Praktek monopoli artificial, termasuk yang rasional sekalipun, juga tidak adil karena tidak ada prosedur yang fair dan jelas. Dengan kata lain, monopoli juga melanggar aspek keadilan lainnya berupa keadilan prosedural (procedural justice), yaitu tuntutan agar pihak yang dipilih adalah pihak yang paling memenuhi semua ketentuan dan prosedur yang ada dan lolos dari prosedur yang benar-benar objektif.
Yang juga mengalami perlakuan tidak adil adalah konsumen atau masyarakat pada umumnya. Masyarakat dirugikan baik karena dipaksa dan terpaksa membeli produk dari perusahaan monopolistis maupun karena direnggut kebebasannya untuk memilih diantara berbagai alternatif barang kebutuhannya, yang akan terbuka baginya kalau pasar dibiarkan terbuka. Dengan monopoli tidak ada lagi kemungkinan lain bagi konsumen untuk memilih secara bebas. Bahkan konsumen merasa didikte oleh produsen yang bertindak sewenang-wenang karena merasa dilindungi secara politis. Apalagi, dengan monopoli harga produk tersebut menjadi jauh lebih mahal daripada harga pasar yang sebenarnya.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artificial adalah ketimpangan ekonomi atau apa yang disebut sebagai ketidakadilan distributive. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa monopoli menimbulkan ketimpangan atau distribusi ekonomi yang tidak merata antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan monopoli artificial, kelompok tertentu mengakumulasi keuntungan dan kekayaan secara melimpah ruah, gampang, dan melalui car yang curang sementara kelompok yang lain terpinggirkan kalau bukan semakin miskin. Kelompok yang mendapat monopoli memperoleh kesempatan bisnis dan perlindungan politik untuk menjadi semakin kaya sementara yang lain dibiarkan berjuang sendiri kalau bukan bangkrut. Memang monopoli alamiah pun dalam arti tertentu dapat dapat menyebabkan ketimpangan ekonomi karena perusahaan monopolistis akan menjadi lebih unggul dan kaya sementara yang lainnya tidak. Namun, persoalannya bahwa tidak ada yang salah dengan keuntungan atau kekayaan yang diperoleh melalui cara yang halal dan fair, yaitu melalui keunggulan objektif perusahaan tersebut. Tidak ada yang salah kalau perusahaan yang unggul dalam manajemen, dalam mutu, dalam pemenuhan selera, dan seterusnya meraup untung besar karena dalam pasar lebih disukai konsumen. Baru itu menjadi soal kalau kekayaan itu diperoleh secara tidak halal dan tidak fair melalui monopoli dengan bantuan perlindungan pemerintah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan disini dalam kaitan dengan ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh praktek monopoli. Pertama, perusahaan monopolistis diberi wewenang secara tidak fair untuk menguras kekayaan bersama demi kepentingan sendiri dalam selubung kepentingan bersama. Secara moral dapat dipertanyakan: atas dasar apa perusahaan tertentu mendapat hak pengelolaan kekayaan alam hutan, tambang, dan seterusnya, demi memperkaya dirinya sementara rakyat di sekitar tempat itu hampir tidak pernah mendapat manfaat langsung dari proyek itu, dan berarti tetap miskin. Kedua, rakyat atau konsumen yang sudah miskin dipaksa untuk membayar harga produk monopolistis yang jauh lebih mahal. Dengan demikian daya beli masyarakat dikuras demi kekayaan kelompok yang mendapatkan monopoli tadi. Padahal, kalau tanpa monopoli, dengan daya beli mereka yang ada, rakyat bisa memenuhi lebih banyak kebutuhan hidupnya. Ketiga, ketimpangan ekonomi akibat praktek monopoli juga berkaitan dengan tidak samanya peluang yang terbuka bagi semua pelaku ekonomi oleh adanya praktek monopoli itu. Ketimpangan ekonomi yang terjadi karena terbukanya peluang yang sama masih lebih baik daripada ketimpangan yang disebabkan karena peluang dan perlakuan yang tidak sama. Dengan monopoli ad yang dilindungi, dipercaya, dan diperbesar kekuatan ekonominya, sementara lebih banyak lagi pihak lainnya dibiarkan berjuang sendiri. Ini jelas tidak adil.
Masalah ketiga yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artificial adalah terlanggarnya kebebasan baik pada konsumen maupun pad pengusaha. Seperti telah dikatakan, konsumen tidak punya pilihan lain selain produk dari perusahaan monopolis. Demikian pula, konsumen tidak bisa secara bebas memilih barang atau jasa yang sesuai dengan kemampuan ekonominya karena hanya ada satu produk dengan harga yang telah dipatok tersebut. Sementara itu, pengusaha lain jelas tidak bisa menikmati kebebasan berusaha karena hambatan yang secara sengaja diciptakan untuk melindungi perusahaan monopolistis. Ini benar-benar tidak etis dan merusak mekanisme pasar yang fair.
2.Oligopoli
Oligopoli adalah salah satu bentuk monopoli tetapi agak berbeda sifatnya. Kalau monopoli merupakan kolusi antara pengusaha dan penguasa, maka oligopoli sesungguhnya adalah kolusi antara pengusaha dan penguasa. Oligopoli agak berbeda sifatnya dengan monopoli karena oligopoli terletak diantara pasar yang bebas dan terbuka di satu pihak dan monopoli di pihak yang lain. Dalam praktek oligopoli pasar dikuasai oleh segelintir pengusaha-semakin sedikit semakin baik-bukan karena ada kolusi dengan pemerintah, melainkan karena kolusi diantar segelintir pengusaha tersebut untuk menguasai dan mendikte pasar. Milton Friedman menyebut praktek seperti ini sebagai monopoli dengan sumber utamanya pada kolusi perusahaan swasta.
Inti dari oligopoli adalah bahwa beberapa perusahaan sepakat baik secara tersirat maupun tersurat untuk menetapkan harga produk dari industri sejenis pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari harga berdasarkan mekanisme murni dalam pasar. Dalam hal ini setiap perusahaan sejenis sangat peka terhadap harga dan strategi pasar yang diambil oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian, baik secara tersirat (diam-diam) maupun secara tersurat (melalui perjanjian) mereka kan menyesuaikan harga dan strategi pasar sesuai dengan langkah yang ditempuh perusahaan lain.
Kalau dalam praktek monopoli artificial perusahaan tertentu melakukan kolusi dengan penguasa demi mengalahkan, atau lebih tepat menyingkirkan, perusahaan lain, maka dalam praktek oligopoli yang terjadi adalah persekongkolan antara beberapa perusahaan sejenis dengan tujuan utama untuk mengalahkan dan mendikte konsumen. Artinya, dari pada didikte oleh pasar (konsumen), perusahaan-perusahaan tertentu bersekongkol untuk mendikte pasar, dan dengan demikian mendikte konsumen melalui kebijaksanaan harga yang lebih tinggi atau ketat. Memang efek sampingannya adalah bahwa perusahaan yang lain akan sulit masuk dalam industri sejenis tersebut, tetapi sesungguhnya yang ingin “diperangi” adalah konsumen.
Selain praktek oligopoli secara merger, yaitu penggabungan beberapa perusahaan yang sebelumnya bersaing satu sama lain menjadi satu perusahaan raksasa, juga dikenal dua bentuk praktek oligopoly lainnya sebagai berikut. Bentuk pertama adalah kartel atau juga dikenal sebagai persetujuan tersurat. Dalam praktek ini manajer dari beberapa perusahaan sejenis bertemu dan mengadakan persetujuan secara tersurat untuk membatasi persaingan di antara mereka dengan menetapkan harga jual produk mereka jauh di atas harga normal dalam pasar. Tujuan akhirnya adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat.
Ada banyak praktek oligopoli jenis ini. Dua yang paling umum dikenal adalah price-fixing dan manipulasi penawaran. Dalam praktek price-fixing, perusahaan-perusahaan oligopolies sepakat untuk menetapkan harga lebih tinggi dan memaksa konsumen untuk menerima harga tersebut. Dalam praktek manipulasi penawaran, perusahaan-perusahaan oligopolistis sepakat untuk menangguhkan produksi untuk kurun waktu tertentu atau untuk menghentikan penawaran dalam kurun waktu tertentu sehingga terjadi kelangkaan dalam pasar. Akibatnya, akan melonjak permintaan yang dengan sendirinya akan diikuti oleh naiknya harga produk dari perusahaan-perusahaan oligopolistis tadi. Dengan praktek manipulasi penawaran, timbul kesan seakan-akan pasarlah yang menyebabkan harga naik. Jadi, kenaikan harga adalah akibat dari manipulasi perusahaan-perusahaan tersebut.
Bentuk lain dari praktek oligopoli adalah price leadership atau juga dikenal sebagai persetujuan diam-diam. Yang terjadi adalah bahwa sudah ada semacam kesepakatan diam-diam di antara perusahaan-perusahaan sejenis untuk menaikkan atau sebaliknya menurunkan harga produk mereka mengikuti langkah yang diambil oleh salah satu dari perusahaan sejenis. Pihak yang berinisiatif untuk menaikkan atau menurunkan harga tersebut lalu dikenal sebagai price leader-biasanya perusahaan yang paling menonjol. Asumsi dibalik praktek ini adalah dari pada bersaing satu sama lain melalui tingkat harga produk sejenis yang beragam, lebih baik “bersekongkol” dengan menjual produknya pada tingkat harga yang sama. Kalau mereka bersaing satu sama lain, yang rugi adalah produsen-produsen itu sendiri, sebaliknya yang untung adalah konsumen. Maka, dari pada sling bersaing dan merugikan produsen sendiri, lebih baik bersekongkol dengan satu tingkat harga, yang akan lebih menguntungkan produsen dan merugikan konsumen.
Dengan melihat praktek oligopoli diatas, terlihat jelas bahwa persoalan etis yang muncul dari praktek oligopoli tidak jauh berbeda dari persoalan yang muncul dalam praktek monopoli. Hanya saja, yang paling yang paling dirugikan dengan praktek oligopoli adalah pihak konsumen. Konsumen diperlakukan secara tidak adil karena dirugikan dan banyak hal tidak bebas menentukan pilihannya baik dalam hal jenis barang maupun harga yang kompetitif. Yang juga menakutkan adalah bahwa praktek oligopoly tidak hanya merusak mekanisme pasar dan juga kepentingan masyarakat, melainkan juga menumpuk kekuatan ekonomi dan juga politik dalam kelompok tertentu. Akibat lebih lanjut, perusahaan oligopolistis yang lebih besar dan punya jaringan dan ikatan yang raksasa tadi tidak hanya mendikte pasar, dalam hal ini berarti konsumen atau masyarakat luas, melainkan juga pada akhirnya bisa mendikte pemerintah untuk tunduk pada kepentingan mereka. Karena itu, kalau satu perusahaan telah menaikkan-atau dalam kasus tertentu menurunkan-harga produknya, dengan serta-merta perusahaan lain pun akan melakukan hal yang sama. Maka, persaingan diantara mereka lalu tidak terjadi.
Ini sungguh menakutkan. Dalam hal monopoli artificial yang muncul karena dukungan dan kolusi dengan pemerintah, pemerintah masih punya posisi kuat untuk menjinakkan kekuatan ekonomi monopolistis dalam kekuasaan pemerintah. Pada perusahaan oligopolistis, kekuatan dan kekuasaan ekonomi dan politik ini tumbuh di luar kendali pemerintah. Sampai tingkat tertentu mereka bisa dianggap sebagai aset bangsa: bisa kuat dalam persaingan global dan karena itu bisa mendatangkan devisa yang besar bagi negara. Ini berarti pemerintah bisa sulit mengambil langkah tertentu untuk mengendalikan mereka, kalau bukan malah didikte oleh perusahaan-perusahaan oligopolistis ini.
Lebih parah lagi kalau dalam kurun waktu tertentu pemerintah membutuhkan produksi dan distribusi massal dari produk tertentu, dan ternyata perusahaan oligopolistis ini menjadi dewa penyelamat karena kekuatan modal dan pasar yang dimilikinya. Ini pada gilirannya akan menyulitkan posisi pemerintah dalam mengambil sikap terhadap sepak terjang perusahaan ini.
Tentu saja tidak disangkal bahwa perusahaan yang besar dengan kekuatan ekonomi, bahkan sampai tingkat tertentu kekuasaan politik, yang besar tidak selamanya jelek. Perusahaan yang besar dan dalam arti tertentu oligopolies dapat menguntungkan tidak hanya bagi perusahaan itu melainkan juga bagi bangsa dan masyarakat pada umumnya. Misalnya, perusahaan yang besar dengan kekuatan ekonomi dan politik yang besar dapat mengerahkan sumber daya yang besar, memproduksi barang dan jasa pada tingkat harga yang lebih murah dan efisien, dan mampu mengumpulkan investasi yang besar yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan perekonomian nasional. Namun di pihak lain, perusahaan-perushaan oligopolies itu membawa persoalan etis yang serius: terlanggarnya keadilan (pada pihak-pihak tertentu yang dirugikan: konsumen dan pengusaha lain), ada praktek yang tidak fair atau curang, munculnya ketimpangan ekonomi karena perusahaan oligopolistis menumpuk kekayaan ekonomi dengan mengeruk dan memeras rakyat banyak melalui harga yang lebih tinggi. Jadi, yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana perusahaan besar yang oligopolistis itu bisa menggunakan pengaruhnya secara positif demi kepentingan bersama; bagaimana ia dapat memanfaatkan kekuatan ekonomi dan politiknya itu demi kemajuan bangsa bukannya merugikan masyarakat.

3.Suap
Salah satu praktek yang sampai tingkat tertentu juga mengarah pada monopoli dan juga merusak pasar adalah suap. Suap mengarah pada monopoli karena dengan suap penyuap mencegah perusahaan lain untuk masuk dalam pasar untuk bersaing secara fair. Dengan suap, perusahaan penyuap mendapat hak istimewa untuk melakukan bisnis tertentu yang tidak bisa dimasuki oleh perusahaan lain. Melalui suap, pihak pemerintah melakukan peraturan tertentu untuk melindungi kegiatan bisnis perusahaan penyuap tadi atau mengeluarkan langkah kebijaksanaan tertentu yang bertujuan untuk melindungi perusahaan penyuap tadi. Dengan demikian, praktis ada hambatan baik secara legal-yuridis maupun praktis bagi perusahaan lain untuk masuk dalam industri sejenis. Jadi, praktek suap juga akhirnya menyebabkan perusahaan lain kalah dan tersingkir secara menyakitkan melalui permainan yang tidak fair. Bersama dengan itu, dalam situasi tertentu, penyuap sesukanya menentukan harga dan dengan demikian mendikte dan merugikan konsumen. Akibat lebih lanjut adalah bahwa harga tidak mencerminkan fluktuasi dan mekanisme pasar dan juga tidak mencerminkan mutu barang yang dijual. Sebagaimana dikatakan Velasquez, “Perusahaan yang penyuap bisa menetapkan harga yang lebih tinggi, melakukan pemborosan sumber daya, dan mengabaikan kualitas dan kontrol biaya karena monopoli yang diperolehnya melalui suap akan menjamin keuntungan yang besar tanpa perlu membuat harga atau kualitas produknya kompetitif dengan harga atau kualitas produk atau perusahaan lain.
Sebelum kita lihat lebih lanjut aspek moral dari suap ini, ada baiknya perlu dibuat pembedaan antara suap dan tip. Tip adalah hadiah atau pemberian cuma-cuma yang diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu sebagai tanda terima kasih atas bantuan atau pelayanan yang telah diberikannya, kendati bantuan atau pelayanan itu merupakan tugas dan tanggung jawabnya. Intinya adalah bahwa pemberian sebagai tip selalu diberikan setelah pelayanan atau bantuan diberikan dan karena itu tidak menjadi syarat bagi pelaksanaan pelayanan atau bantuan tersebut. Demikian pula, dalam praktek tip, yang berinisiatif memberi adalah pihak yang mendapat pelayanan atau bantuan tersebut. Maka, tip adalah bentuk perilaku etis sebagai ungkapan penghargaan yang tulus atas jasa orang lain.
Dalam kaitan dengan itu, tip tidak menjadi alat intimidasi secara halus atau lunak dan samar-samar. Maka, kalaupun tip tidak diberikan pelayanan berjalan seperti biasa, termasuk pelayanan-pelayanan lain di kemudian hari. Pelayanan dan bantuan tidak mengalami perubahan entah ada atau tidak ada tip. Pihak yang memberi bantuan dan pelayanan pun tidak menggantungkan pelayanan dan bantuan itu pada tip.
Suap justru berbeda sekali dengan tip. Suap diberikan sebelum pelayanan atau bantuan diberikan dan merupakan syarat bagi pelaksanaan pelayanan dan bantuan tersebut yang sesungguhnya sudah menjadi tugas, tanggung jawab dan kewajiban pihak pelaksana itu. Dengan demikian suap sangat mempengaruhi dan menentukan seluruh pelaksanaan pelayanan, bantuan, dan transaksi selanjutnya. Bahkan dalam kasus suap, yang berinisiatif, secara halus, samar-samar atau terang-terangan, adalah pihak yang mendapat suap itu. Yaitu, pihak pemberi jasa. Maka, bisa ditebak bahwa dalam kasus tertentu suap menjadi semacam intimidasi.
Atas dasar perbedaan diatas, dapat dikatakan bahwa tip tidak menimbulkan persoalan etis, sedangkan suap justru menimbulkan berbagai macam persoalan etis. Tentu saja, dalam budaya kita, tip pun bisa berubah hakekatnya menjadi suap. Misalnya, pihak tertentu yang diberi tip lalu merasa seakan terikat secara moral untuk memuluskan jalan bagi pemberi tip dalam relasi selanjutnya di kemudian hari. Termasuk didalamnya, dengan tip penerima secara positif mereka seakan berutang budi dan dengan demikian dengan penuh resiko ingin membalas kebaikan tersebut dengan melakukan manipulasi tertentu. Ini sangat disayangkan karena sesungguhnya tidak perlu terjadi. Demikian pula sebaliknya, pihak pemberi tip cenderung menganggap tip sebagai pengikat dan pelicin bagi urusan selanjutnya. Padahal tidak perlu. Dalam hal ini, sebaiknya pihak penerima tetap saja menerimanya, tapi tidak perlu terpengaruh dengan itu. Katakan saja, kalau dalam “proyek” selanjutnya perusahaan yang telah memberinya tip tidak memenuhi kualifikasi, pihak penerima tip tadi tidak harus melakukan manipulasi untuk memenangkan perusahaan yang pernah memberinya tip tadi. Demikian pula, pihak yang pernah memberi tip tak harus menganggap pihak penerima tip tadi sebagai “tak tahu balas budi”. Kalau itu terjadi, tip- yang semula merupakan tanda terima kasih- telah berubah fungsi menjadi suap. Karena itu, si pembeli itu sendiri yang sebenarnya punya motivasi jelek.
Jadi, dengan adanya tip atau tidak, pihak yang berwenang- pemberi jasa- seharusnya hanya mendasarkan dirinya pada prinsip kualifikasi: kualitas dan keunggulan objektif, atau, dalam kaitan dengan prosedural, yang datang pertama mendapatkan pelayanan pertama. Kalau ini benar-benar dipegang, tip akan tetap menjadi praktek budaya yang baik dan tidak berubah hakikat menjadi suap yang merusak.
Ada beberapa masalah etis yang terkait dengan praktek suap. Masalah-masalah tersebut sedikit banyaknya punya kemiripan dengan masalah yang ditimbulkan oleh monopoli dan oligopoli. Yang pertama adalah bahwa praktek suap adalah praktek yang tidak fair, tidak adil. Dengan suap pihak lain disingkirkan bukan karena atas dasar objektif, melainkan karena permainan kotor bernama suap.
Dalam kaitan dengan itu, suap juga menimbulkan masalah ketidakadilan distributif. Ketidakadilan distributif akibat praktek suap muncul dalam beberapa wujud. Misalnya, kelompok tertentu yang mendapat proyek, atau diberi hak monopoli impor, ekspor, atau penjualan produk tertentu, lalu dengan mudah menjadi kaya raya melalui cara yang tidak fair. Dana masyarakat yang seharusnya bisa terbagi  secara merata di antara berbagai pengusaha melalui mekanisme persaingan murni dalam pasar, lalu hanya berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Akibatnya, terjadi jurang dan ketimpangan sosial ekonomi. Ini lebih terasa lagi kalau suap dilakukan oleh perusahaan besar, yang karena itu mampu membayar nilai suap paling besar, dan dengan suap itu ia mendapat monopoli atau perlindungan untuk menggarap proyek tertentu yang memang sangat menguntungkan. Terjadilah penumpukan atau konsentrasi kekayaan pada kelompok tertentu.
Dalam wujud yang lain, ketidakadilan distributif juga muncul dalam bentuk pembayaran upah buruh yang rendah. Maksudnya, dalam pasar yang masih memungkinkan untuk adanya persaingan, demi tetap menjaga daya saing perusahaan penyuap, biaya untuk suap diperoleh dengan cara menekan upah buruh serendah mungkin. Ini terutama terjadi dalam kaitan dengan perusahaan dalam negeri yang berorientasi ekspor. Di dalam negeri perusahaan tersebut melakukan suap untuk mendapat perlindungan dari pemerintah, tetapi pada taraf global ia harus tetap bersaing dengan perusahaan dari negara lain. Untuk bisa kompetitif, biaya produksi ditekan serendah mungkin. Jalan yang ditempuh untuk itu adalah dengan menekan upah buruh. Padahal, seandainya tanpa suap, upah buruh bisa lebih tinggi karena alokasi untuk suap bisa dipakai untuk meningkatkan upah buruh. Dengan menekan upah buruh, ketimpangan ekonomi antara kelas buruh dan kelas pemilik modal tetap lebar kalau bukan semakin lebar.
Dengan kaitan dengan itu, persoalan moral yang ketiga yang ditimbulkan oleh suap adalah ekonomi biaya tinggi. Sekilas masalah ini hanya berkaitan dengan ekonomi. Namun sesungguhnya ini punya nuansa moral yang kuat. Karena ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh praktek suap- karena membengkakkan biaya secara tidak perlu- pada akhirnya juga memberatkan masyarakat, termasuk masyarakat miskin. Jadi, masyarakat miskin diperas dan dikuras daya belinya untuk kepentingan pengusaha penyuap. Jelas itu tidak etis.
Keempat, dalam kasus suap yang melibatkan pihak birokrasi pemerintah, praktek suap melahirkan praktek kenegaraan yang tidak etis karena pelayanan publik yang menjadi tugas, tanggung jawab, dan kewajiban moral birokrasi pemerintah diperjualbelikan. Dalam bahasa yang lebih populer, suap merupakan tindakan manipulasi jabatan dan kedudukan. Ini tidak hanya merendahkan martabat pejabat birokrasi tersebut- atau malah memperlihatkan rendahnya moralitas dan integritas moral pejabat- melainkan juga merendahkan martabat birokrasi pemerintah sebagai pelayan publik dan mengganggu kehidupan bersama. Pada gilirannya, karena hampir semua pelayanan publik hanya akan dijalankan secara baik kalau ada suap, kepastian hukum dan kepastian ketatanegaraan pun tidak ada. Dengan kata lain, kepastian mekanisme dan sistem yang baik dan etis tidak ada. Yang ada hanyalah kepastian sistem yang korup: ada uang dan pelayan.
Yang lebih parah lagi adalah perasaan dipermainkan dan menjadi mainan birokrasi. Dalam hal ini pihak yang membutuhkan jasa pemerintah sehubungan dengan kegiatan bisnis dilempar dari satu meja ke meja yang lain, padahal itu bukan merupakan prosedur resmi. Akibat lebih lanjut, kepercayaan masyarakat terhadap bangsa sendiri menjadi hilang. Muncullah kerugian yang wajar- kendati seharusnya tidak perlu- dari pada mencari jasa pelayanan publik terhadap birokrasi pemerintah. Ini pada gilirannya berkembang menjadi sebuah mental budaya yang merendahkan martabat bangsa sendiri.
Kelima, masalah moral lain yang terkait dengan praktek suap adalah hilangnya profesionalisme, khususnya komitmen sebagai orang yang profesional di bidangnya. Ini berlaku baik pada pemberi suap maupun pada penerima. Pemberi suap mendapat proyek atau kemudahan bukan karena profesional, melainkan karena suap. Untuk selanjutnya dia tidak berusaha mengembangkan profesionalismenya melainkan hanya mengandalkan suap. Demikian pula, pihak penerima tidak lagi mendasarkan tugas pelayanannya pada kualitas profesional, melainkan pada suap tadi. Ini pada gilirannya akan melemahkan bangsa dan negara secara keseluruhan.

4.Undang-Undang Anti-Monopoli
Terlepas dari kenyataan bahwa dalam situasi tertentu kita membutuhkan perusahaan besar dengan kekuatan ekonomi yang besar, dalam banyak hl praktek monopoli, oligopoli, suap, harus dibatasi dan dikendalikan, karena sebagaimana telah kita lihat, kerugian kepentingan masyarakat pada umumnya dan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Strategi yang paling ampuh untuk itu, sebagaimana juga ditempuh oleh negara maju semacam Amerika, adalah melalui undang-undang-anti monopoli. Dalam undang-undang itu sudah terkandung pula larangan untuk oligopoli dan suap.
Namun ini saja tidak cukup. Pada tempat pertama perlu ada kemauan baik di pihak pemerintah untuk benar-benar membasmi praktek monopoli, oligopoli, dan suap ini. Diakui atau tidak, praktek monopoli, oligopoli, dan sup bersentuhan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu dalam birokrasi pemerintah. Maka, pertanyaannya adalah beranikah pemerintah mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan mereka sebagai pribadi, sebagai oknum. Kalau jawabannya positif, kiranya undang-undang anti-monopoli akan menjadi pilihan utama mereka. Sebabnya, sebagaimana tujuan dan fungsi utama pemerintah adalah demi melindungi hak dan kepentingan masyarakat, undang-undang anti-monopoli pun bertujuan melindungi hak dan kepentingan masyarakat dari keserakahan pihak manapun yang ingin mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat, melalui car-car yang curang dan tidak fair.
Sebagai gambaran, ada baiknya kita lihat tujuan yang ada di balik undang-undang antitrust di Amerika. Undang-undang antitrust yang paling penting adalah apa yang dikenal sebagai The Sherman Act, tahun 1890. Undang-undang ini dapat dianggap sebagai induk peraturan perundang-undangan mengenai kontrol atas monopoli dan praktek-praktek perdagangan yang tidak fair. Undang-undang ini kemudian disempurnakan oleh The Clayton Act dan The Federal Trade Commission Act pada tahun 1914. Tujuan utama dari undang-undang antitrust ini adalah, pertama, untuk melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara berbagai kekuatan ekonomi dalam pasar. Ini dijamin melalui peraturan yang melarang monopoli, persaingan yang tidak sehat, kolusi, dan permainan harga yang tidak sehat. Asumsinya, konsumen akan lebih diuntungkan melalui persaingan murni yang sehat dalam pasar. Karena itu, harga barang dan jasa harus dibiarkan berfluktuasi sesuai dengan mekanisme murni dari pasar.
Dengan ini terlihat jelas bahwa undang-undang anti-monopoli bukan membatasi pasar, justru sebaliknya mengaktualkan cita-cita pasar bebas dan dengan demikian menjamin agar pasar yang fair benar-benar berfungsi. Ini sekaligus menunjukkan bahwa yang namanya pasar bebas, sekali lagi, bukanlah pasar tanpa kendali, melainkan adalah pasar dengan kendali, dengan pemerintah aktif berfungsi didalamnya untuk membuat aturan main dan melaksanakan aturan main demi berfungsinya pasar sesuai dengan hakekatnya: tidak ada pihak yang dirugikan secara curang oleh pihak lain.
Kedua, dalam kaitan dengan itu, undang-undang anti-monopoli juga bertujuan melindungi kesejahteraan konsumen dengan melarang praktek-praktek bisnis yang curang dan tidak fair. Asumsinya, dengan persaingan yang sehat konsumen akan memperoleh barang dan jasa yang semakin beragam sesuai dengan kebutuhannya. Konsumen mempunyai pilihan yang variatif sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi secara maksimal sesuai dengan selera dan preferensinya. Tapi bersamaan dengan itu kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan daya belinya. Karena, dengan persaingan yang sehat mereka dapat memperoleh barang dengan harga yang lebih murah pada tingkat kualitas yang terjamin baik. Maka, dengan pengeluaran yang sama mereka dapat memenuhi lebih banyak kebutuhan hidupnya.
Ketiga, selain itu undang-undang anti-monopoli juga bermaksud melindungi perusahaan kecil dan menengah dari praktek bisnis yang monopolis dan oligopolistis. Asumsinya, tanpa undang-undang anti-monopoli ada bahaya yang cukup besar bahwa perusahaan yang besar dengan mudah membeli dukungan pemerintah dan mengadakan persekongkolan dengan perusahaan lain yang besar untuk mendikte harga dan dengan demikian menjatuhkan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil yang tidak bisa bersaing dengan mereka.
Dengan melihat tujuan dari undang-undang antitrust ini, kita bisa melihat bahwa melalui undang-undang semacam ini fungsi pasar dan fungsi pemerintah dipadukan dan dijamin didalamnya: sama-sama berfungsi untuk melindungi hak dan kepentingan setiap dan semua orang secara sama dalam bidang ekonomi. Karena itu, kalau pemerintah memang benar-benar punya kemauan baik dan tekad untuk berfungsi menjaga dan melindungi kepentingan bersama seluruh masyarakat, maka undang-undang anti-monopoli merupakan suatu keharusan, khususnya bagi dan sejalan dengan sistem pasar bebas. Undang-undang anti-monopoli ini tidak hanya penting dan niscaya dari segi ekonomi (yaitu bagi pertumbuhan dan efisiensi ekonomi), melainkan juga dari segi etis: kebebasan konsumen dan pengusaha, keadilan, praktek bisnis yang fair dan semacamnya.
Akan tetapi, sebagaimana telah disinggung berulang kali dalam buku ini, ini saja tidak cukup. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah kemauan dan keseriusan pemerintah untuk menerapkan undang-undang anti-monopoli ini sebagai aturan main bagi kehidupan ekonomi dan bisnis kita. Ini penting, karena kendati ada undang-undangnya, tetapi kalau tidak dilaksanakan, atau dilaksanakan hanya sesuai dengan keinginan atau kepentingan oknum birokrasi pemerintah, maka pada akhirnya hanya merupakan dagelan politik belaka.
Terlepas dari ada tidaknya kemauan baik dan tekad pemerintah tersebut diatas, ada keyakinan yang cukup kuat bahwa gelombang globalisasi sampai tingkat tertentu berdampak positif memaksa pemerintah untuk lebih terbuka dalam berbagi kebijaksanaan ekonomi dan bisnisnya. Salah satu  di antaranya adalah desakan dari dalam maupun dari luar ekonomi Indonesia untuk menghapus berbagai praktek yang bersifat monopolistis dan oligopolistis. Paling kurang, karena praktek-praktek semacam ini anti-pasar dan tidak fair. Jadi, pada akhirnya undang-undang anti-monopoli akan dilahirkan dan diberlakukan, paling kurang karena alasan ekonomi. Ini merupakan suatu keharusan zaman sesuai dengan sistem ekonomi yang bernama pasar bebas atau ekonomi global.
Selain undang-undang anti-monopoli, kiranya dalam sistem pasar bebas, kita membutuhkan berbagai aturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perlindungan  Tenaga Kerja, Undang-Undang Periklanan, atau bahkan Undang-Undang Persaingan yang Sehat. Semuanya ini didasarkan pada satu semangat moral: demi melindungi hak dan kepentingan semua pihak atau agar hak dan kepentingan siapapun dalam pasar yang terbuka dan penuh persaingan ketat tidak dirugikan (no harm). Semua aturan perundang-undangan ini dibutuhkan oleh semua pelaku bisnis dan ekonomi demi kepentingan masing-masing dan kepentingan bersama. Semua peraturan perundang-undangan itu dilandasi oleh satu tekad untuk menciptakan iklim bisnis yang baik dan etis, yang pada gilirannya akan sangat kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Maka, semua undang-undang semacam itu harus mendapat perhatian utama dalam kebijaksanaan ekonomi pemerintah, khususnya dalam menghadapi globalisasi ekonomi.
Kalau pemerintah tidak siap dengan undang-undang semacam itu, kita akan keteter kalau bukan akan menjadi bulan-bulanan kritik dari pihak luar. Konsekuensi dari kita memasuki, bahkan ikut memprakarsai, perdagangan global adalah bahwa kebijaksanaan ekonomi kita pun harus dijiwai dan mengarah ke semangat perdagangan global yang didasarkan pada persaingan yang terbuka dan fair. Kebijaksanaan semacam itu juga penting bagi pengusaha kita agar mereka terbiasa bersaing secara fair dan terbuka dan tidak hanya sekadar menjadi besar dibalik proteksi-proteksi pemerintah. Kalau terus-menerus hanya bisa menjadi besar karena proteksi, ini akan menyulitkan pengusaha kita untuk bisa benar-benar bersaing dalam pasar global. Akibatnya, pasar global hanya akan mendapatkan efeknya yang merugikan dan bukan memanfaatkannya sebagai peluang demi kepentingan kita.
Ada dua pertanyaan yang relevan dilontarkan disini. Pertama, apakah dengan semua undang-undang itu, sistem ekonomi pasar masih benar-benar bebas? Jawabannya tentu saja, YA! Bahkan harus ditegaskan bahwa semua aturan perundang-undangan itu merupakan perwujudan konkrit dari jiwa dan semangat pasar bebas. Karena itu, kendati ada aturan-aturan tertentu, aturan itu tidak membatasi pasar dan pengusaha, melainkan sebaliknya justru memberi kerangka dan aturan main yang jelas bagi kebebasan berusaha dalam pasar. Aturan-aturan itu memberi kepastian dan jaminan bagi kebebasan berusaha dalam pasar. Hanya dengan peraturan-peraturan perundang-undangan itu bisa diharapkan bahwa cita-cita persaingan sehat dari ideologi pasar dapat diwujudkan. Karena itu semua peraturan perundang-undangan itu tidak kontradiktif dengan pasar yang mengandalkan persaingan bebas, karena persaingan tersebut hanya bisa etis kalau didasarkan pada dan dijalankan dibawah aturan perundang-undangan tersebut sebagai perwujudan semangat dan jiwa pasar bebas itu sendiri.
Dengan demikian, kendati ada aturan perundang-undangan seperti itu semua pelaku bisnis akan tetap bebas, paling kurang dalam pengertian, pertama, bebas dalam kerangka aturan main atau rambu-rambu yang telah digariskan tersebut. Kedua, dalam arti pasar tetap terbuka bagi semua pelaku ekonomi mana pun yang bisa memenuhi aturan main tersebut. Ketiga, dalam arti barang, jasa, modal, dan transaksi bisnis tidak dihambat secara irasional hanya demi kepentingan kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan kelompok lain atau kepentingan masyarakat dan dengan demikian dengan mengorbankan rasa keadilan masyarakat.
Atas dasar ini, salah satu persiapan serius untuk memasuki sistem ekonomi pasar bebas yang bersifat global adalah dengan mengeluarkan berbagai aturan perundang-undangan yang akan menjadi aturan main dalam berbagai bidang dan segi kegiatan bisnis, khususnya di tanah air. Kalau tidak, ekonomi pasar tidak akan menjadi ekonomi tanpa arah dan dengan demikian akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, demi meraup keuntungan bagi dirinya sendiri di tengah ketiadaan aturan main. Ini suatu kebutuhan niscaya yang harus dijawab secara serius oleh pemerintah dan semua pihak. Dengan peraturan perundang-undangan itu secara konsekuen, cepat atau lambat iklim bisnis kita akan menjadi jauh lebih baik dan etis, tanpa berarti tidak ada lagi kecurangan.
Pertanyaan kedua adalah apakah dengan semua aturan perundang-undangan itu, ekonomi pasar, akan dengan sendirinya menjamin suatu iklim dan kegiatan bisnis yang baik dan etis? Tentu saja harus diakui bahwa dengan semua aturan perundang-undangan itu tidak lalu dengan sendirinya berarti iklim dan kegiatan bisnis akan menjadi baik dan etis sepenuhnya. Tidak. Tetapi, paling kurang berarti kecurangan, berbagai praktek monopoli, oligopoli dan suap bisa dihindari atau paling kurang diperkecil. Lebih dari itu, iklim dan kegiatan bisnis menjadi lebih pasti. Dalam pengertian, kalau ada pihak yang curang bisa dipastikan-sejauh pemerintah serius dengan itu-akan ditindak secara fair. Ini pada gilirannya mendorong pada pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan fair, dan juga akhirnya merasa aman karena ada aturan main yang jelas yang melindungi kepentingan masing-masing pihak secara fair.

Sumber :  http://akirahydekinato.wordpress.com/2010/03/16/makalah-monopoli-dan-kebijakan-pemerintah/








TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN


TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibiliy (CSR), muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa pada dasarnya karakter alami dari setiap perusahaan adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat dan lingkungan alam. Seiring dengan dengan meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan maka konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Tanggung jawab sosial perusahaan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu konsep yang mewajibkan perusahan untuk memenuhi dan memperhatikan kepentingan para stakeholder dalam kegiatan operasinya mencari keuntungan. Stakeholder yang dimaksud diantaranya adalah para shareholder, karyawan (buruh), kustomer, komunitas lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain sebagainya.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan saat ini.
Dalam pengamatan saya, tanggung jawab sosial perusahaan sering didefinisikan secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya standar baku bagi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan masih anggap sebagai suatu kosmetik belaka untuk menaikkan pamor perusahaan atau menjaga reputasi perusahaan di masyarakat. Oleh karenanya ada asumsi jika perusahaan sudah memberikan sumbangan atau donasi kepada suatu institusi sosial berarti sudah melakukan tanggung jawab sosial sebagai sebuah perusahaan.
Kembali menurut saya, penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini baru dilakukan diantaranya adalah
1. Pengaruh dari globalisasi dan internasionalisasi yang memaksa perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa tekanan dari pihak ketiga ( distributor, buyer, client, dan shareholder ) yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka dapat menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan lokal dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya. Kondisinya ini biasanya dialami oleh perusahaan yang berada di negara miskin dan berkembang dimana memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada investor dari negara maju. Pernah seorang temen bercerita bahwa Buyer mereka yang dari Jepang mau memberikan order JIKA perusaaan mendirikan toilet yang memadai bagi karyawan perusahaan yang berjumlah ribuan. Karena menurut buyer tersebut toilet pabrik sangat tidak memadai baik dari jumlah dan kualitasnya. Yah..terpaksa perusahan mengikuti daripada kehilangan order.
2. Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha ekplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahan tambang lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan perusahaan non tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut diwajibkan untuk melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari eksplorasi yang dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi, mendukung pencinta alam, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan sebagainya. Kenyataannya apakah perusahaan tersebut benar-benar menaruh perhatian terhadap alam dan lingkungan sekitarnya, bukankah mungkin tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan hanya sebagai kedok untuk melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan sehingga tidak dikritik oleh masyarakat.
3. Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan adalah pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyataannya bahwa pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya ancaman mogok atau unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu negosiasi antara manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan perusahaan maka (biasanya) tuntutan akan direalisasikan.
4. Bentuk lainya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas pemberian sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang sifatnya momentum. Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi dapat dijadikan sebagai momentum bagi perusahaan yang membentuk citra dan reputasi baik di mata masyarakat.
Masih banyak contoh penerapaan tanggung jawab sosial perusahaan pada saat ini yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan atau mengikuti aturan main supaya perusahaan dapat tetap menjaga citra dan existensinya di hadapan para stakeholdernya.
Kritik terhadap Tanggung jawab sosial perusahaan
Dari beberapa fakta diatas kritik saya sebagai warga negara terhadap penerapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah:
1. Perspektif tanggung jawab sosial perusahaan sering dijadikan atribut bagi perusahan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan caranya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat, asosiasi, dan pemerintah. Seperti perusahaan tambang, perusahan kayu, perusahaan pengelola hasil bumi, dan sejenisnya. Dampak yang ditimbulkan perusahan tidak seimbang dengan usaha untuk merehabilitasi alam.
2. Untuk bisnis tertentu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat dijadikan perisai sebagai penetralisir dampak dari bisnis yang dijalankan sekalipun bertentangan, misalkan perusahaan rokok sebagai sponsor event olah raga. Sekalipun masyarakat mengetahui bahayanya rokok di lain pihak masyarakat membutuhkan olahraga.
3. Ada kalanya tanggung jawab sosial perusahaan dapat menjadi bumerang bagi perusahaan itu sendiri walaupun sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Misalkan yang terjadi pada perusahaan fast food Mc Donal, pada awalnya tanggung jawab sosial perusahaan disosialisasikan secara menyeluruh kepada dunia mengenai keterlibatan Mc Donal dalam memperhatikan anak-anak, pendidikan dan kehidupan sosial di masyarakat. Tetapi Mc Donal justru menuai demo dari para pencinta binatang karena dianggap pembunuh ayam yang kejam, iklan yang menyesatkan, dan praktek bisnis yang tidak sehat.
4. Bagi perusahaan investor dari negara maju, adanya regulasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang ketat dapat menjadi alternative untuk berpindah ke negara yang memiliki regulasi tanggung jawab sosialnya lebih longgar. Dilema ini yang dihadapi oleh negara miskin dan berkembang, jika terlalu ketat maka otomatis investor akan mengurungkan niatnya berinvestasi tetapi sebaliknya jika terlalu longgar akan merugikan rakyat dan lingkungan alam.
Perusahaan yang berhasil dalam penerapan tanggung jawab sosial jumlahnya relatif sedikit karena mendapatkan kepercayaan dari para stakeholder harus diuji melalui waktu. Komitmen dan konsistensi yang dilakukan oleh perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial akan terlihat hasilnya secara bertahap bukan secara instan. Best practice perusahaan yang berhasil adalah The Body Shop, justru karena berfokus kepada kepentingan public, kekerasan dalam keluarga, kesehatan ibu dan anak, bencana alam, dan kegiatan sosial lainnya, perusahan ini sukses merebut perhatian dari para pelangganannya.
Mencari Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Bagaimana mencari format ideal tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat diperoleh mutual benefit antara perusahan dengan stakeholdernya?. Untuk mendapatkan format ideal tanggung jawab sosial perusahaan, beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perusahan harus melakukan gap analisis antara apa yang ideal harus dilakukan dengan apa yang telah dilakukan (existing) saat ini. Hasil dari gap analisis ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mendapatkan solusi yang benar-benar dibutuhkan sehingga kehadiran perusahaan tersebut memberikan dampak positif bagi stakeholder.
2. Konsistensi dalam menjalankan komitmen harus menjadi bagian dan gaya hidup dari semua level manajemen perusahaan. Oleh karenanya tanggung jawab sosial perusahaan harus menjadi bagian dalam strategic plan perusahaan mulai di mulai dari penentuan visi, misi, strategi, core belief, core value, program, penyusunan anggaran sampai kepada evaluasi. Tujuan dengan adanya strategic plan ini adalah untuk menjaga kesinambungan perusahaan di masa yang akan datang. Di dalam strategic plan faktor tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai good corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan strategic plan ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard perusahaan di dalam menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang digunakan dapat berupa metode balanced scorecard atau hanya penerapan key performance indicator disetiap objektif yang ingin dicapai.
3. Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu divisi tersendiri secara professional sehingga pertanggungajawaban terhadap manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur kinerjanya. Divisi ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan secara cepat dan tuntas semua perkara (isu) yang berhubungan dengan para stakeholder. Divisi ini harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan pemerintah sebagai regulator, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi yang berhubungan, dan masyarakat sehingga keputusan yang diambil dapat mengakomodir semua kepentingan. Dalam prakteknya staff dari divisi ini dapat diisi oleh personal dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder.
4. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus untuk menagani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat menjadi mediator dan fasilitator bagi semua pihak yang berkepentingan. Fungsi lainnya dari department ini adalah sebagai auditor yang memberikan rangking dalam periode tertentu bagi semua perusahaan sesuai dengan bidang dan kelasnya, dengan adanya ranking ini memicu perusahaan untuk serius menangani masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Departemen ini harus juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi untuk menjaga transparansi dalam proses audit.
5. Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai pendukung perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat memanfaatkan TIK semaksimal mungkin untuk menciptakan proses yang efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalkan dengan menggunakan software, internet, portal, dan teleconference sebagai alat komunikasi dengan stakeholder yang terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan.
Sudah saatnya setiap perusahaan memberikan perhatian yang serius kepada masalah tanggung jawab sosial, karena terbukti tanggung jawab sosial perusahaan memiliki peranan yang signifikan dalam keberhasilan perusahaan di masa yang akan datang. Disamping itu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat menyeimbangkan perusahaan dalam mencapai tujuan komersil dan tujuan non komersial.


Sumber :  http://alchoyr.blogspot.com/2011/10/tanggung-jawab-sosial-perusahaan.html

ETIKA PASAR BEBAS


ETIKA PASAR BEBAS

Pasar bebas adalah system ekonomi yang lahir untuk mendongkrak system ekonomi yang tidak etis dan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dengan memberi kesempatan berusaha yang sama, bebas, dan fair kepada semua pelaku ekonomi. Rasanya sia-sia kita mengharapkan suatu bisnis yang baik dan etis kalau tidak di tunjang system social politik dan ekonomi yang memungkinan untuk itu. Dengan kata lain, betapun etisnya etika pelaku bisnis, jika system ekonomi yang berklaku sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianutnya, akan sangat menyulitkan. Betapa etisnya pelaku ekonomi, kalaupun system yang ada melanggengkan praktek-praktek bisnis yang tidak fair seperti monopoli, kolusi, manipulasi, dan nepotisme secara transparan dan arogan, akan sulit sekali mengharapkan iklim bisnis yang baik dan etis.
Ini berarti, supaya bisnis dapat dijalankan secara baik dan etis, dibutuhkan puluh perangkat hokum yang baik dan adil. Harus ada aturean main yang fair, yang dijiwai oleh etika dan moralitas.
1. Keunggulan moral pasar bebas
Pertama, system ekonomi pasar bebas menjamin keadilan melalui jaminan perlakuan yang sama dan fair bagi semua pelaku ekonomi.
Kedua, ada aturan yang jelas dan fair, dan k arena itu etis. Aturan ini diberlakukan juga secara fair,transparan,konsekuen, dan objektif. Maka, semua pihak secara objektif tunduk dan dapat merujuknya secara terbuka.
Ketiga, pasar member peluanyang optimal, kendati belum sempurna, bagi persingan bebas yang sehat dan fair.
Keempat, dari segi pemerataan ekonomi, pada tingkat pertama ekonomi pasar jauh lebih mampu menjamin pertumbuhan ekonomi.
Kelima, pasar juga memberi peluang yang optimal bagi terwujudnya kebebasan manusia.
2. Peran Pemerintah
Syarat utama untuk menjamin sebuah system ekonomi pasar yang fair dan adil adalah perlunya suatu peran pemerintah yang sangat canggih yang merupakan kombinasi dari prinsip non-intervention dan prinsip campur tangan, khususnya demi menegakan keadilan.

Dengan kata lain, syarat utama bagi terwujudnya system pasr yang adil dan dengan demikian syarat utama bagi kegiatan bisnis yang baik dan etis adalah perlunya suatu pemerintah yang adil juga. Artinya, Pemerintah yang benar-benar bersikap netral dan tunduk pada aturan main yang ada, berupa aturan keadilan yang menjamin hak dan kepentingan setiap orang secara sama dan fair.

Maka siapa saja yang melanggar aturan main akan ditindak secara konsekuen, siapa saja yang dirugikan dak dan kepentingannya akan dibela dan dilindungi oleh pemerintah terlepas dari stastus social dan ekonominya.

Sumber :  http://zulkarnaen-zulkarnaen.blogspot.com/2009/12/etika-pasar-bebas.html

IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA

IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA

Iklan ialah bentuk komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan suatu produk sehingga mengubah pikiran konsumen untuk melakukan pembelian.

1.      Fungsi Iklan sebagai pemberi informasi dan pembentuk opini
Iklan sebagai pemberi informasi tentang produk yang ditawarkan di pasar.
Bagi produsen ia tidak hanya sebagai media informasi yang menjembatani produsen dengan konsumen, tetapi juga bagi konsumen iklan adalah cara untuk membangun citra atau kepercayaan terhadap dirinya.
Iklan sebagai pembentuk pendapat umum tentang sebuah produk.
Iklan sebagai pembentuk pendapat umum dipakai oleh propagandis sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik. Dalam hal ini, iklan bertujuan untuk menciptakan rasa ingin tahu atau penasaran untuk memiliki atau membeli produk.
2.      Beberapa persoalan etis periklanan
Dunia periklanan memang merupakan dunia glamour dalam bisnis modern saat ini, selain sebagai alat promosi kepada konsumen, iklan merupakan salah satu alat komunikasi interaktif antara konsumen dan produsen. Iklan-iklan yang ditayangkan secara massal dan intensif kepada masyarakat pada umumnya tidak mendidik, selain itu periklanan memamerkan suatu suasana hedonis dan meterialistis yang pada akhirnya menumbuhkan ideologi konsumerisme.
Penayangan suatu iklan pada ruang publik seharusnya menyandarkan diri pada prinsip utama serta fungsi utama sebuah iklan.Tentunya kita telah mengetahui bahwa iklan berfungsi sebagai alat informatif dan persuasif. Iklan yang sesuai dengan etika binis adalah iklan yang penyampaiannya kepada masyarakat sesuai dengan kebenaran, artinya apa-apa yang diinformasikan melalui iklan tersebut memang pada kenyataannya adalah benar.
3.      Makna Etis Menipu dalam Iklan
Selain itu, manipulasi dalam periklanan juga merupakan hal yang cukup merugikan bagi konsumen. Manipulasi disini diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh si pengiklan terhadap si konsumen untuk membeli produk yang dihasilkan.
Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan dimata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuain antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relefan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan.
4.      Kebebasan Konsumen
Menurut John F. Kenedy ada beberapa hak dasar konsumen yaitu :
·         Hak akan keselamatan
·         Hak untuk mendapatkan informasi
·         Hak untuk memilih
·         Hak untuk didengar
·         Hak untuk menikmati lingkungan yang bersih.
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk atau jasa yang di buat dan ditawarkan oleh bisnis.
Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Etika dalam praktek bisnis sejalan dengan kesuksesan dalam berbisnis.
Perhatian untuk konsumen :
a)      Hak Atas Keamanan
Banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen, khususnya resiko untuk kesehatan dan keselamatan.
b)      Hak Atas Informasi
Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu maupun bagaimana cara memakainya, maupun juga resiko yang menyertai pemakainnya.
c)      Hak Untuk Memilih
Dalam ekonomi pasar bebas di mana kompetisi merupakan unsur hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara pelbagai produk dan jasa yang di tawarkan.
d)     Hak Untuk Didengarkan
e)      Konsumen adalah orang yang menggunakan produk atau jasa. Ia berhak bahwa keinginannya tentang produk atau jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama
Keluhannya.
f)       Hak Lingkungan Hidup
Konsumen memanfaatkan sumber daya alam, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan berkelanjutan proses-proses alam.


Sumber : http://fraditya13.blogspot.com/2012/11/etika-bisnis-iklan-dan-dimensi-etisnya.html

BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Pengertian konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :
  • Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
  • Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
  • Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
  • Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
  • Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
  • Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
    Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :
  • Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
  • Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
  • Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual
  • Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
  • Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Masyarakat modern adalah masyarakat bisnis. Pelaku bisnis beranggapan hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dan bersikap netral. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memiliki peran melindungi konsumen dari tindakan produsen. Hubungan Produsen Dan Konsumen. Antara Produsen Dan Konsumen memiliki “Hak Kontraktual” yaitu Hak yang timbul dan dimiliki seseorang ketika memasuki suatu persetujuan atau kontrak dengan pihak lain.

Kontrak Dianggap Baik Dan Adil :
  • Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya hakikat dan kondisi persetujuan yang mereka sepakat
  • Tidak ada pihak yang memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat kontrak
  • Tidak ada pemaksaan
  • Tidak mengikat untuk tindakan yang bertentangan dengan moralitas

Kewajiban Produsen :
  • Memenuhi ketentuan yang melekat pada produk
  • Menyingkapkan semua informasi
  • Tidak mengatakan yang tidak benar tentang produk yang diwarkan

Pertimbangan Gerakan Konsumen :
  • Produk yang semakin banyak dan rumit
  • Terspesialisasinya jenis jasa
  • Pengaruh iklan terhadap kehidupan konsumen
  • Keamanan produk yang tidak diperhatikan
  • Posisi konsumen yang lemah
 Sumber : http://afiarini.wordpress.com/2010/12/17/bisnis-dan-perlindungan-konsumen/

HAK PEKERJA

HAK PEKERJA

MACAM-MACAM HAK PEKERJA
Hak Atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia,karena.:
  1. Kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia.
  2. Kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja mamnusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
  3. Hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak.
Hak atas pekerjaan ini tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak atas upah yang adil
Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya bahwa:
  1. Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar.
  2. Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
  3. Bahwa perinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
Hak untuk berserikat dan berkumpul
Untuk bisa memperjuangkan kepentingannya, khususnya hak atas upah yang adil, pekerja harus diakui dan dijamin haknya untuk berserikat dan berkumpul. Yang bertujuan untuk bersatu memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota mereka. Menurut De Geroge, dalam suatu masyarakat yang adil, diantara perantara-perantara yang perlu untuk mencapai suatu sistem upah yang adil, serikat pekerja memainkan peran yang penting.
Ada dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul :
  1. Ini merupakan salah satu wujud utama dari hak atas kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia.
  2. Dengan hak untuk berserikat dan berkumpul, pekerja dapat bersama-sama secara kompak memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya atas upah yang adil.
Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja:
  1. Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
2. Setiap pekerja berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut.
3. Setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaiknya menolaknya.
Hak untuk diproses hukum secara sah
Hak ini terutama berlaku ketika seorang pekerja dituduh dan diancam dengan hukuman tertentu karena diduga melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. pekerja tersebut wajib diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, dan kalau ternyata ia tidak bersalah ia wajib diberi kesempatan untuk membela diri.
Hak untuk diperlakukan secara sama
Pada perinsipnya semua pekerja harus diperlakukan secara sama, secara fair. Artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan entah berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam sikap dan perlakuan, gaji, maupun peluang untuk jabatan, pelatihan atau pendidikan lebih lanjut.
Perbedan dalam hal gaji dan peluang harus dipertimbangkan secara rasional
Diskriminasi yang didasrkan pada jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya adalah perlakuan yang tidak adil.
Hak atas rahasia pribadi
Karyawan punya hak untuk dirahasiakan data pribadinya, bahkan perusahan harus menerima bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh diketahui oleh perusahaan dan ingin tetap dirahasiakan oleh karyawan.
Hak atas rahasia pribadi tidak mutlak, dalam kasus tertentu data yang dianggap paling rahasia harus diketahui oleh perusahaan atau akryawan lainnya, misalnya orang yang menderita penyakit tertentu. Ditakutkan apabila sewaktu-waktu penyakit tersebut kambuh akan merugikan banyak orang atau mungkin mencelakakan orang lain.
Umumnya yang dianggap sebagai rahasia pribadi dan karena itu tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh perusahaan adalah persoalan yang menyangkut keyakinan religius, afiliasi dan haluan politik, urusan keluarga serta urusan sosial lainnya.
Hak atas kebebasan suara hati.
Pekerja tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggapnya tidak baik, atau mungkin baik menurut perusahaan jadi pekerja harus dibiarkan bebas mengikuti apa yang menurut suara hatinya adalah hal yang baik.
WHISTLE BLOWING
Whistle blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas.
Rahasia perusahaan adalah sesuatu yang konfidensial dan memang harus dirahasiakan, dan pada umumnya tidak menyangkut efek yang merugikan apa pun bagi pihak lain, entah itu masyarakat atau perusahaan lain.
Whistle blowing umumnya menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan baik perusahaan sendiri maupun pihak lain, dan kalau dibongkar memang akan mempunyai dampak yang merugikan perusahaan, paling kurang merusak nama baik perusahaan tersebut.
Contoh whistle blowing adalah tindakan seorang karyawan yang melaporkan penyimpangan keuangan perusahaan. Penyimpangan ini dilaporkan pada pihak direksi atau komisaris. Atau kecurangan perusahaan yang membuang limbah industri ke sungai.
Ada dua macam whistle blowing :
  1. Whistle blowing internal
     2. Whistle blowing eksternal

Sumber : http://annie-ocktaviani.blogspot.com/2010/10/hak-pekerja-macam-macam-hak-pekerja.html